Berikut Pilihan Investasi di Tengah Inflasi Tinggi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku pasar perlu mempertimbangkan penempatan investasi di era inflasi tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, inflasi Agustus 2022 tercatat sebesar 4,69%. 

CEO Edvisor.id Praska Putrantyo memprediksi kenaikan inflasi akan berlanjut pada September 2022 sejalan dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Oleh karena itu, ia menyarankan investor bisa menanamkan modalnya pada sejumlah instrumen investasi agar tak tergerus inflasi.

Menurutnya, jenis investasi pasar modal yang terbilang stabil untuk saat ini ada surat berharga negara (SBN) dan obligasi korporasi. Kenapa SBN? Praska menjelaskan, mengacu kurva imbal hasil, untuk yield SBN dengan tenor pendek dapat mencapai 5%-7,3%.


"Artinya, secara yield sudah berada di atas inflasi, meskipun dipangkas pajak," ujarnya pada Kontan, Jumat (30/9).

Baca Juga: IHSG Menguat 0,07% Pada Jumat (30/9), BBCA, BMRI, ADRO Paling Banyak Net Buy Asing

Sementara itu, untuk obligasi korporasi menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi ketimbang SBN. Akan tetapi, kata Praska, obligasi korporasi juga memiliki risiko gagal bayar.

"Misalnya saja untuk obligasi dengan rating AAA, rata-rata yield berada di 8%-9%. Jadi cukup memberikan imbal hasil lebih tinggi. Adapun tenornya berbeda-beda atau di bawah 10 tahun," imbuh Praska.

Selain itu, investor juga bisa melirik reksa dana pendapatan tetap dimana yang dana kelolaannya banyak ditempatkan pada obligasi korporasi lantaran lebih stabil. Praska mengkhawatirkan SBN cukup terpengaruh oleh tekanan pasar.

Hanya saja, ia menyebutkan obligasi korporasi memiliki tantangan tersendiri. Sehingga, pelaku pasar harus mencermati dan memilih obligasi korporasi yang bagus-bagus, misalnya dari segi fundamental kuat agar terhindar dari risiko gagal bayar di tengah kenaikan suku bunga.

Sementara itu, ia menilai investasi saham untuk jangka pendek sekarang ini kurang menarik, pelaku pelaku pasar bisa melakukan trading lebih dulu.

"Saham masih menarik, tapi untuk jangka panjang karena sekarang lagi dalam tren penurunan. Saya rasa jangka pendek untuk saham saat ini belum diutamakan," tambahnya.

Begitu juga untuk komoditas, Praska menjelaskan instrumen ini kurang pas di tengah potensi meningkatnya inflasi. Ia bilang, harga komoditas terbilang tinggi akibat masalah supply yang terbatas dan permintaan naik. Ditambah, kenaikan harganya juga difaktori oleh permasalahan politik.

Baca Juga: Ini Pilihan Instrumen Investasi yang Tepat Saat Hadapi Resesi

"Kalau kondisi itu tidak ada, harga komoditas semua normal. Sehingga komoditas enggak bisa jadi jaminan, komoditas sangat tergantung pada kebutuhan global, isu-isu politik, dan perkembangan dari ekonomi," terangnya.

Sehingga, ia menyarankan sekarang ini pelaku pasar bisa fokus menempatkan dananya di surat utang, obligasi korporasi, ataupun SBN jangka pendek, dan reksadana pendapatan tetap.

Bagi investor konservatif, Praska bilang mereka bisa menempatkan 80% asetnya pada pasar uang dan 20% pada surat utang. Sementara untuk investor yang lebih moderat, bisa dengan komposisi 20% pasar uang, 30% SBN, 30% obligasi korporasi, dan sisanya bisa ditempatkan pada saham.

Lalu, untuk investor yang agresif, bisa menempatkan dananya sebesar 20% di pasar uang, 30% bisa ke obligasi, dan 50% di saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi