KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menghimbau agar perusahaan fintech lending untuk lebih ketat dalam memberikan pinjaman. Maklum, OJK mewanti-wanti perusahaan pinjaman
online setelah kasus penipuan yang dialami oleh ratusan mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) pada utang pinjol. Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK Ogi Prastomiyono mengimbau, perusahaan pinjol perlu berbenah dengan meningkatkan manajemen risiko dalam melakukan peminjaman uang kepada masyarakat. Ogi menambahkan, OJK sudah melakukan pembinaan dan meminta kepada empat perusahaan terkait kasus mahasiswa IPB untuk meningkatkan manajemen risiko melalui penguatan analisis data calon peminjam serta meningkatkan sistem
early warning fraud detection.
"Analisis profil peminjam harus diperkuat. Sebisa mungkin, perusahaan pinjol bisa mengenali terlebih dahulu calon pemimpin," kata Ogi dalam konferensi pers virtual, belum lama ini.
Baca Juga: OJK Beberkan Beberapa Tantangan Industri Fintech P2P Lending Tahun Depan Lebih lanjut, perusahaan pinjol harus berhati-hati apabila melihat fenomena peminjaman yang tidak normal. Sebagai contoh, peminjaman dalam jumlah besar dengan profil peminjam yang sama di suatu daerah. Selain itu, proses analisis yang akurat harus dilakukan, perusahaan juga harus tingkatkan deteksi dengan tingkat akuisisi yang tidak normal. Ketua
Cluster Multiguna Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Rina Apriana mengungkapkan, kehadiran industri
fintech lending memang memiliki tujuan yang baik untuk melayani masyarakat yang
unbanked and underserved, di mana di segmen tersebut memang profil risikonya berbeda dengan segmen institusi keuangan lain, misalnya
multifinance dan bank. Adapun, AFPI telah menyiapkan peraturan dan infrastruktur untuk memperkuat manajemen risiko di industri
fintech lending atau pinjaman
online berizin OJK. Rina menjelaskan, masing-masing
fintech P2P lending, member AFPI juga telah melakukan sejumlah langkah manajemen risiko dari pinjaman yang disalurkan oleh para anggotanya agar tetap sehat dan terjaga. Rina membeberkan beberapa hal manajemen risiko, di antaranya, pertama, menerapkan proses
electronic know your customer (e-KYC) yang dapat mengurangi tingkat
fraud atau penipuan yang terjadi di masyarakat. "Dengan demikian, bisa memperkecil potensi terjadinya kredit macet," ungkap Rina saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (21/12). Kedua, menerapkan proses
underwriting dengan memanfaatkan semua data baik dari internal maupun eksternal dengan memanfaatkan algoritma kecerdasan buatan atau
artificial intelligence (AI). Rina menuturkan, AI dimanfaatkan untuk dapat meningkatkan kualitas penilaian kredit atau
credit scoring, guna mengukur risiko kredit dari calon peminjam yang sebelumnya tidak memiliki riwayat pinjaman kredit. Selanjutnya, ketiga, AFPI mengembangkan Fintech Data Center (FDC) yang mengintegrasikan data antara penyelenggara
fintech lending satu dengan lainnya. FDC ini digunakan untuk menghindari
fraud, pinjaman berlebih di mana satu
borrower melakukan peminjaman di banyak penyelenggara
fintech lending, hingga mengetahui status kelancaran pinjaman.
Baca Juga: OJK: Fintech Jadi Industri yang Paling Banyak Mendapat Laporan dan Pengaduan Menurut Rina, Hal ini membantu platform
fintech lending untuk melakukan pertimbangan ulang dalam menyetujui permohonan pinjaman dari peminjam yang memiliki catatan pembayaran yang tidak baik. Adapun antisipasi tidak terjadi lagi kredit bermasalah, AFPI gencar melakukan sosialisasi dan edukasi agar masyarakat hati-hati dengan investasi ilegal atau bodong, karena kasus yang menimpa mahasiswa IPB adalah investasi ilegal, sedangkan pinjamannya benar di perusahaan
fintech legal berizin OJK. Untuk itu, kata Rina, AFPI dan seluruh 102 anggota asosiasi mengingatkan masyarakat untuk meminjam sesuai kebutuhan dan kemampuan, membayar angsuran tepat waktu, menjaga kualitas kredit karena dari perusahaan
fintech lending tentunya akan mengecek riwayat kredit peminjam dari FDC ini. Dari sisi pelaku industri,
Chief Executive Office Akseleran Ivan Nikolas Tambunan menyatakan ini ada dua sisi, dari sisi penyelenggara
fintech lending, perlu melakukan
assesment dengan lebih saksama. Sedangkan dari sisi pengguna, juga perlu lebih lagi mendapat edukasi. "Masyarakat perlu paham meminjam hanya bila mampu untuk membayar pinjamannya, bila tidak maka akan repot di belakang," ujar Ivan saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (21/12).
Adapun, Presiden Direktur Akulaku Finance Indonesia Efrinal Sinaga mengatakan, ada beberapa hal, di antaranya verifikasi keabsahan data NIK di Dukcapil, sekaligus
face recoqnition, cek Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK), verifikasi
telco, credit scoring. Dari segi antisipasi, Efrinal bilang
fintech lending harus selalu memperhatikanc legalitas perusahaan pinjol, perlunya sosialisasi dan edukasi ke mahasiswa. "Jangan terlalu percaya dengan iming-iming yang tidak logis," pungkas Efrinal. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi