Berkah Brexit di tengah tren kenaikan suku bunga



LONDON. Penarikan Inggris keluar dari Uni Eropa alias Brexit sepertinya akan menjadi berkah tersendiri di tengah kebijakan bank sentral Inggris menaikkan suku bunga. Brexit disebut-sebut menjadi stimulus jangka pendek bagi para pemegang surat utang pemerintah Inggris sebanyak US$ 2,1 triliun.

Seperti dilansir Reuters, David Cameron, Perdana Menteri Inggris, telah menyepakati garis besar reformasi Uni Eropa yang akan ia lempar kepada pemilih Inggris dalam referendum pada Juni mendatang. Saat ini, jajak pendapat terbesar menyuarakan agar Inggris keluar dari Uni Eropa.

Kalau suara rakyat Inggris memilih untuk keluar dari Uni Eropa, tingkat keuntungan bagi pemegang surat utang pemerintah yang akan jatuh tempo dalam lima tahun ke depan atau kurang harus jelas. Hal ini untuk menghindari kegelisahan investor lebih lanjut.


Sejumlah ekonom mengungkapkan, Brexit akan merugikan pertumbuhan ekonomi Inggris secara jangka pendek. "Memegang referendum Brexit, terlepas bagaimana hasilnya nanti, akan menjadi hambatan bagi pertumbuhan dan menunda keputusan untuk berinvestasi," terang Dave Chappell dari Columbia Threadneedle Investment seperti diberitakan Reuters, kemarin.

Imbal hasil lima tahun surat utang Inggris GB5YT = RR. Ini berarti bergerak berlawanan menyentuh harga paling rendah dalam tiga tahun terakhir. Francis Diamond, Strategis JP Morgan mengatakan, imbal hasil cenderung rontok 0,15%-0,20% kalau suara Inggris menyatakan keluar dari Uni Eropa.

Berdasarkan perhitungan Reuters, investor asing mengantongi lebih dari seperempat surat utang pemerintah Inggris. Adapun defisit neraca perdagangan Inggris tercatat sebesar 3,7% dari produk domestik bruto (PDB) negara tersebut.

Sebelumnya, Mark Carney, Gubernur bank sentral Inggris telah memperingatkan hal ini kepada masyarakat. Skenario terburuknya adalah mata uang poundsterling melemah dan investor asing angkat kaki. "Jika kampanye Inggris keluar dari Uni Eropa menang, nilai tukar mata uang dapat dipertanyakan. Kombinasi ini menghasilkan ketakutan dan kurva yield curam," imbuh Chappell.

Investor asing terjebak membeli surat utang pemerintah Inggris ketika referendum kemerdekaan Skotlandia pada tahun 2014 lalu. Mereka memecahkan rekor membeli 29,6 miliar poundsterling dalam tiga bulan terakhir tahun lalu.

"Jika Brexit menang, Anda akan mendapatkan depresiasi yang tajam, seperti inflasi naik ke level 4% dan MPC mungkin harus mulai menaikkan suku bunga. Dalam skenario terburuk, imbal hasil acuan 10 tahun surat utang Inggris GB10YT = RR bisa naik sebanyak satu persen dibandingkan dengan surat utang AS US10YT = RR," tutur Jamie Searle, Strategis Pendapatan Tetap Citi.

Diamond menambahkan, skenario yang lebih dekat dengan surat utang Inggris untuk jangka waktu 10 tahun, imbal hasilnya bisa jatuh 0,10%. Yang paling mengkhawatirkan, jika Inggris tidak mampu mengamankan kesepakatan perdagangan yang menguntungkan dengan Uni Eropa dan negara-negara lain. Ini akan menyakiti pertumbuhan jangka panjang dan mendorong harga domestik naik.

Negoisasi hubungan Inggris dan Uni Eropa mengundang banyak kritik dan komentar dari berbagai kalangan. Carolyn McCall, Kepala Eksekutif Maskapai EasyJet, salah satunya yang mengatakan, akan sangat sulit bagi pemerintah untuk bernegoisasi dengan 27 anggota negara Uni Eropa lain untuk mendapatkan hak terbang yang saat ini dimiliki EasyJet di Uni Eropa.

"Kami mendukung dengan aktif kampanye untuk menjaga Inggris dalam bagian Uni Eropa. Sama sekali tidak ada keraguan bahwa ekonomi Inggris jauh lebih baik di Eropa daripada keluar dari bagian Uni Eropa," kata Michael O'Leary, Direktur Eksekutif Ryanair.

Ian Robertson, Direktur Penjualan dan Pemasaran BMW menambahkan, Inggris memiliki industri mobil yang paling beragam di antara negara Eropa dan merupakan pasar keempat terbesar di BMW Group di seluruh dunia. "Akan sangat menyesal melihat Inggris meninggalkan Eropa."

Mewakili sektor keuangan, James Bardrick, Kepala Citi Inggris menjelaskan, apabila Brexit terjadi, artinya Citi harus mengubah operasional bisnisnya dan merelokasi bisnis tertentu kembali ke Uni Eropa. Secara teknis, hal ini mungkin saja dilakukan. Namun, biayanya akan sangat mahal dan tidak efisien. "Dan akan berarti, skala kegiatan kami Inggris berkurang," ucapnya.

Ben van Beurden, Direktur Royal Dutch Shell RDSa.L, seperti dikutip The Sunday Times menyebut, perseroannya memiliki warisan yang sangat kuat di Inggris. "Akan ada istirahat di antara keduanya yang akan mempengaruhi kebebasan bergerak. Perdagangan akan terkena dampaknya. Itu tidak baik untuk perusahaan seperti kami," pungkasnya.

Editor: Dikky Setiawan