Berkah terbatas bagi pebisnis kuliner



Jakarta. Lembaran rupiah yang banyak berseliweran selama Ramadan selalu disambut gembira pelaku bisnis, termasuk yang berkecimpung di industri makanan dan minuman. Pengusaha dari pelbagai kelas: besar, sedang, kecil, rumahan, hingga pedagang dadakan berlomba-lomba mengejar peruntungan. Maklum berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, omzet di bulan puasa bisa melejit puluhan, bahkan hingga ratusan persen.Pertanda uang akan mengalir deras selama Ramadan datang dari Bank Indonesia (BI). Otoritas moneter memperkirakan pertumbuhan uang tunai selama bulan puasa dan Lebaran tahun ini akan tumbuh 14,9% dari tahun lalu menjadi Rp 118,5 triliun. Angka itu setara dengan 13,4% dari total jumlah uang yang beredar. Tahun lalu, kebutuhan uang tunai selama puasa dan Idul Fitri mencapai Rp 103,2 triliun.Mereka yang berstatus karyawan akan mendapat tunjangan hari raya (THR) selambat-lambatnya tujuh hari sebelum Idul Fitri. Kalau melihat pola yang berlangsung di tahun-tahun lalu, hanya sebagian kecil saja uang THR yang akan disisihkan sebagai tabungan. Sebagian besar duit tunjangan biasanya habis terpakai untuk konsumsi.Salah satu indikasinya, setiap kali Ramadan dan Idul Fitri, inflasi selalu mengalami kenaikan. Pendorongnya, kenaikan harga bahan baku makanan. Kita tentu masih ingat soal hukum permintaan dan penawaran dalam ekonomi.

Pemilik jaringan resto atau fastfood biasanya menggelar berbagai program promosi, atau minimal menyediakan menu khas Ramadan untuk menarik minat pengunjung. Sementara pemain kecil atau kelas rumahan, yang biasanya bersifat musiman, lebih banyak menjajakan penganan khas masa puasa.Pengusaha makanan dalam kemasan juga tak kalah lincah menangkap peluang. Sribugo Suratman, Ketua Umum Asosiasi Industri Roti, Biskuit, dan Mi Instan (Arobim), menyatakan, sebelum memasuki Ramadan, anggota asosiasinya sudah meningkatkan produksi 15%–20%.Hal ini dilakukan untuk menjaga stok dagangan di gerai-gerai peritel. Maklum, saat bulan Ramadan, permintaan terhadap produk-produk mi instan dan sereal mengalami pertumbuhan cukup signifikan. Sementara menjelang Lebaran, produk biskuit yang permintaannya bakal melonjak.Kurang semarakHanya, Ramadan kali ini berbarengan dengan masa pemilihan presiden (pilpres). Bagi pengusaha makanan dan minuman, pilpres yang berbarengan dengan Ramadan kurang menguntungkan. Pasalnya, pengerahan massa di waktu siang hari lebih sedikit. Alhasil, konsumsi makanan dan minuman juga berkurang. “Pemilihan legislatif mendorong permintaan naik 10%. Sementara pilpres perkiraannya cuma 2%, ” kata Franky Sibarani, Sekjen Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesi a (Gapmmi).Yang tak kalah pentingnya, tingginya perputaran uang ini tidak menggambarkan tingkat konsumsi masyarakat kita membaik. Sebab pada kenyataannya, daya beli masyarakat memang sedang berada dalam tekanan. Larangan ekspor mineral tambang sejak 12 Januari 2014 membuat sebagian daerah, yang bersandar pada komoditas tambang, ekonominya melesu. Di sebagian daerah lain, harga komoditas perkebunan juga belum membaik. “Ramadan dan Lebaran tahun ini kenaikan permintaan diperkirakan hanya 15%,” ujar Franky.Asal tahu saja, tahun lalu, pelaku industri makanan dan minuman memperkirakan permintaan saat Ramadan dan Idul Fitri bakal tumbuh 20%–30% ketimbang bulan sebelumnya. Nyatanya, realisasi pertumbuhannya hanya 10%–15% saja. Salah satu penyebabnya, daya beli masyarakat terpangkas oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada 22 Juni 2014.

Senada, Sribugo belum berani merilis berapa besar proyeksi pertumbuhan penjualan tahun ini. Selain lantaran Ramadan baru saja dimulai, ia melihat peningkatan daya beli masyarakat kali ini tidak begitu besar, jika dibandingkan dengan kenaikan yang terjadi pada bulan puasa yang lalu-lalu. “Sekarang, kan banyak sekali biaya-biaya rumahtangga. Belum lagi ada musim masuk sekolah. Tapi, belum tahu juga kalau nanti pas mau Lebaran,” kata Sribugo.Di sisi produsen, pelemahan nilai tukar rupiah membuat beban biaya produksi, terutama untuk pembelian bahan baku, membengkak. Ini masih ditambah dengan efek kenaikan tarif tenaga listrik untuk industri. Kenaikan tarif tenaga listrik berdampak ganda buat industri makanan dan minuman. Secara tidak langsung, beban produksi industri kemasan meningkat. Secara langsung, beban energi perusahaan makanan dan minuman juga ikut mengembang. “Kenaikan tarif listrik membuat biaya energi meningkat berkisar 5%–15%. Padahal, komponen tarif listrik itu setara dengan 30%–40% dari total biaya energi,” ujar Franky.Meski menghadapi tekanan, pelaku industri makanan dan minuman lebih memilih mengambil strategi efi siensi dan memangkas marjin, daripada menaikkan harga jual produknya. Sebabnya, ya, itu tadi. Mereka memperkirakan daya beli masyarakat sedang kurang baik.Pilihan mempertahankan harga itu, paling tidak, bertahan hingga minggu pertama bulan Agustus. Setelah itu, bukan tidak mungkin pebisnis makanan dan minuman mengerek naik harga produknya.***Sumber : KONTAN MINGGUAN 41 - XVIII, 2014 Laporan Utama


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Imanuel Alexander