KONTAN.CO.ID - MOROWALI UTARA/JAKARTA. Pengembangan industri baterai kendaraan listrik atau
electric vehicle (EV) akan memaksimalkan pemanfaatan potensi nikel kadar rendah di Indonesia. Dus, nikel kadar rendah atau
limonite yang selama ini ibarat paria bakal naik status menjadi primadona. Terlebih Indonesia memiliki potensi cadangan bijih nikel berkadar di bawah 1,5% yang melimpah. Bahkan jauh lebih besar ketimbang nikel kadar tinggi yang berkadar di atas 1,5%. Catatan KONTAN, potensi nikel kadar tinggi atau
saprolite di Indonesia hanya sekitar 930 juta ton dan terus berkurang. Jumlahnya hanya seperempat dari
limonite yang mencapai 3,6 miliar ton.
Maklum, industri pengolahan nikel di Indonesia sejauh ini memang baru mampu mengolah nikel kadar tinggi untuk dijadikan berbagai produk turunan, mulai dari
nickel pig iron, feronikel atau
nickel matte. Sementara pemanfaatan nikel kadar rendah paling banter hanya dimanfaatkan sebagai campuran guna memenuhi kebutuhan smelter. Contohnya, perusahaan tambang yang memiliki nikel berkadar 2% akan mencampurkannya dengan nikel kadar rendah, misalnya 1,3%, 1,4% atau 1,5% sehingga kadar nikel yang dikirimkan ke smelter menjadi 1,7%.
Baca Juga: Nikel, Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) & Berubahnya Wajah Ekonomi Bahodopi Namun, nikel kadar rendah yang dimanfaatkan sebagai campuran nikel kadar tinggi ini pun jumlahnya masih sangat sedikit. Di Kabupaten Morowali Utara misalnya, sebagian besar nikel kadar rendah yang ikut tertambang selama ini hanya dibuang dan menjadi timbunan begitu saja. Praktik ini banyak dilakukan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang enggan menerapkan
good mining practice. Dus, Bupati Morowali Utara Delis Julkarson Hehi pun menyambut gembira keinginan pemerintah pusat mendorong pengembangan industri baterai EV yang akan memaksimalkan pemanfaatan nikel berkadar rendah. "Saat ini baru ada satu perusahaan yang mengapalkan nikel kadar rendah," ujar Delis kepada KONTAN.
KONTAN bertemu dan mewawancari Delis dalam dua kali kesempatan; di Jakarta pada 8 Juli 2022 dan di rumah jabatan Bupati di Morowali Utara pada 19 Juli 2022. Meski demikian, eksploitasi nikel kadar rendah juga akan memunculkan tantangan tersendiri. Bagi perusahaan tambang yang menerapkan
good mining practice, nikel kadar rendah tidak hanya dimanfaatkan sebagai campuran. PT Bukit Makmur Istindo Nikeltama (Bumanik) misalnya, selama ini memanfaatkan sebagian besar nikel kadar rendah yang ikut tertambang, untuk menutup kembali lubang-lubang tambang yang telah selesai dieksploitasi. "Kalau tidak ada penutupan lubang tambang, pasti tidak ada penataan lahan dan tidak ada revegetasi," ujar Kepala Teknik Tambang Bumanik, Alwansyah kepada KONTAN, Selasa (19/7).
Baca Juga: Bangun Smelter US$ 500 Juta, Central Omega Resources (DKFT) Cari Mitra Strategis Bumanik merupakan pemegang IUP produksi bijih nikel yang berlokasi di Kabupaten Morowali Utara. Selama Jelajah Ekonomi Hijau di Morowali Utara, KONTAN berkesempatan melihat langsung proses penambangan bijih nikel di Blok Keuno. Juga bagaimana praktik
good mining practice diterapkan di perusahaan tambang tersebut. Menurut Alwansyah, solusi masalah ini sudah dibahas dalam pertemuan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia Perjuangan (APNI-Per) belum lama ini di Jakarta. Namun, ini berarti ada biaya baru yang harus dikeluarkan perusahaan pertambangan nikel untuk menutup lubang tambang mereka. Solusi yang dimaksud adalah menggunakan material dinding akhir tambang yang berupa batuan dan material-material laterit lainnya yang ikut tertambang. Untuk satu hektar lubang bukaan tambang, membutuhkan 123.000 meter kubik (m3) material batuan untuk menutupinya. "Biayanya, US$ 2,8-US$ 3,5 per bcm. Biayanya kecil jika dibanding nilai nikel kadar rendah yang bisa dijual yang harusnya diregulasikan oleh pemerintah," tutur Alwansyah. Sejauh ini pemerintah memang baru meregulasi Harga Penjualan Mineral (HPM) bijih nikel kadar tinggi. Dus, penetapan HPM atas bijih nikel kadar rendah juga dibutuhkan seiring pemanfaatannya sebagai bahan baku baterai EV. Ini untuk mencegah pabrik komponen baterai EV berbahan baku bijih nikel memasang banderol harga nikel kadar rendah sesuka hati, seperti yang pernah terjadi pada nikel kadar tinggi sebelum dikeluarkannya kebijakan HPM. Selain biaya penutupan lubang tambang menggunakan batuan sekitar US$ 2,8-US$ 3,5 per bcm, penentuan HPM bijih nikel kadar rendah ini juga mesti memasukkan biaya operasional tambang yang rata-rata US$ 13- US$ 15 per metrik ton.
Baca Juga:
Kera Hitam Tonkean, Satwa Endemik yang Tergusur Gemerlap Industri Nikel di Bahodopi Di saat yang sama, pemerintah pusat juga harus melakukan pengawasan ketat kepada perusahaan tambang yang menjual nikel kadar rendah dalam penerapan
good mining practice. "Kalau tambang selesai dieksploitasi lalu dibiarkan begitu saja, kasihan masyarakat yang berada di sekitar kawasan tambang yang akan menerima akibatnya," tandas Alwansyah. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tedy Gumilar