Berkat kesetiaan Ratidjo pada jamur



Ketekunan menjadi kunci Ratidjo Hardjo Suwarno menggapai cita hingga menjadi entrepreneur bidang kuliner sekaligus agribisnis. Pemilik resto Jejamuran di Yogyakarta ini mungkin tak pernah menyangka, kesetiaannya pada jamur berbuah manis. Dalam setahun, dari resto jamur, dia bisa mengumpulkan omzet hingga Rp 6,5 miliar.

Sudah puluhan tahun Ratidjo berkenalan dengan jamur. Pada 1968, dia bergabung dengan perusahaan yang berbisnis jamur. “Saya ditugaskan di Dieng untuk menanam jamur,” kenangnya. Ratidjo berpindah kerja dari perusahaan tadi, tapi tetap dalam bisnis jamur sampai tahun 1993.

Kesadaran tak akan mendapat tunjangan pensiun mengusik pikirannya untuk merintis usaha. “Saya pikir, saya kerja bisa memperkaya orang lain, tapi hidup saya susah terus,” ucapnya. Maka, pada 1997, Ratidjo mengundurkan diri untuk menata masa depannya. Berbekal uang pesangon, dia pun memutuskan menjadi petani jamur dengan mendirikan PT Volva Indonesia.


Di usahanya, Ratidjo membuat bibit jamur. Dia juga memberdayakan petani sekitar untuk ikut bertanam jamur. Dia pun membeli hasil panen jamur dari petani. Sayang, pemasaran menjadi kendala. “Saat itu, orang Indonesia belum terbiasa makan jamur,”  tuturnya.

Selain itu, Ratidjo menilai, dia tak bisa menentukan harga jika hanya menjual jamur mentah. “Petani tak punya daya tawar, karena semua ditentukan oleh pengepul,” kata dia. Apalagi, jamur tak bisa disimpan.

Supaya punya daya tawar inilah, lantas Ratidjo berinisiatif untuk menjual makanan dari jamur. Karena tak mau ambil risiko, pada 2003, dia memulai usaha kuliner jamur ini dengan berjualan keliling dari rumah ke rumah. “Dari situ, saya bisa komunikasi dengan konsumen,” ucap ayah lima anak ini.

Bersama In-daryati, istrinya yang pandai memasak, Ratidjo menghidangkan menu masakan rumahan, yang biasa dikonsumsi masyarakat Yogya. Sebut saja, gudeg jamur, lodeh jamur, tongseng jamur, dan sate jamur. “Jadi, kami berkolaborasi, istri memasak, saya bertanam jamur,” kenang pria 70 tahun ini.

Di sinilah perjuangan Ratidjo dimulai. Sebab, banyak penolakan yang diterimanya. Banyak orang yang belum memahami makanan yang terbuat dari jamur. “Mereka bertanya, ini beracun tidak, bikin mati tidak,” kata dia.

Bekas kandang ayam

Selama tiga tahun, pasangan suami istri ini berkeliling menjajakan makanannya. Lantas, setelah merasa yakin masakan berbahan baku jamur bisa diterima lidah masyarakat, Ratidjo membuka angkringan di depan rumahnya. “Saya buat warung angkringan itu dari kandang ayam,” cerita dia.

Jadi, seorang peternak ayam menjual kandang ayamnya karena bangkrut. Ratidjo memakai material bekas, seperti genteng, untuk mendirikan ang-kringan. Dengan sisa uang yang ada, dia juga membeli meja dan kursi dari pasar loak.

Di angkringan ini, Ratidjo tak melupakan kebiasaannya untuk mengobrol dengan tamu-tamu yang datang. Tak hanya berhenti di obrolan, dia juga sering mengajak pengunjung untuk melihat-lihat kebun jamur yang lokasinya persis di belakang warung. “Waktu itu, saya tidak berpikir soal omzet, yang penting saya memberi pelayanan terbaik, supaya pengunjung datang lagi dan mengajak temannya,” ujar dia.

Dalam bisnis, Ratidjo selalu berpedoman bahwa hari ini lebih baik dari kemarin, dan besok harus lebih baik dari hari ini. Prinsip itu yang membuatnya tak pernah lelah memperbaiki pelayanan dan mutu sajian.

Pelan-pelan, pengunjung angkringannya terus bertambah. Bukan cuma pelanggan lama balik lagi, tapi banyak lidah penikmat kuliner menyukai kelezatan masakan jamur Ratidjo. Ia lalu mengubah angkringannya jadi restoran tahun 2009. Dia memberi nama Jejamuran karena semua hidangan makanan berbahan jamur.

Kini, Jejamuran telah memiliki 24 variasi masakan jamur. Semua masakan ini berasal dari jenis jamur yang berbeda. Dia mengaku tak mematok harga mahal untuk menjual masakan jamur ini. “Bagi saya, yang penting ada nilai tambah dan faktor pengali,” cetus dia.

Sebab, selain memakai jamur dari kebunnya sendiri, Ratidjo juga menampung panen jamur dari petani. Dia menerima semua hasil panenan, tanpa membedakan ukuran. “Buat saya, yang kecil bisa saya jual mahal, sama seperti yang besar,” ujar dia. Dia pun bersyukur, bisa memenuhi mimpinya untuk menentukan harga jamur yang baik bagi petani.

Di luar resto Jejamuran, Ratidjo juga mengembangkan agribisnis jamur. Selain memasok kebutuhan restorannya, dia juga menjual bibit jamur untuk petani. Jamur-jamur yang dikembangkan di laboratoriumnya adalah jamur yang tak bisa dibudidayakan oleh petani, seperti Monkey Head dari Belgia dan Agaricales Species dari Brasil. “Karena jamur ini harus tumbuh di suhu sekitar 17 derajat Celsius. Jadi kalau ditanam di Indonesia harus menggunakan teknologi pendingin,” jelas dia. Sementara, bibit jamur dijual ke petani-petani yang tersebar mulai dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat.  

Untuk divisi agribisnis ini, Ratidjo juga melibatkan anaknya. Dua anaknya dikirim ke Belgia, karena dia juga mengembangkan jenis jamur dari Eropa. “Kami menjalin kerjasama dengan perusahaan jamur di sana,” kata Ratidjo.

Oktober 2014 ini, dia juga menambah lini bisnis, yakni pengalengan masakan jamur. Dia melihat pasar masakan dalam kaleng ini cukup besar, yakni untuk orang-orang yang bepergian ke luar negeri, terutama jemaah umrah.

Kini, dalam seminggu, Ratidjo mampu memproduksi hingga 4.000 kaleng.  Pada 2014 juga dia mengembangkan bisnis agrowisata. “Jadi, kalau ada yang tertarik melihat budidaya jamur, pembibitan, dan pengalengan, saya ajak mereka untuk melihat prosesnya,” terang dia.            

Bina dan bantu karyawan

Sudah bukan rahasia lagi bahwa sumber daya manusia kerap dikeluhkan pengusaha. Ini merupakan masalah klasik di banyak bidang usaha Namun tak demikian yang dialami oleh Ratidjo Hardjo Suwarno yang membawahi 120 orang karyawan.

“Banyak usaha rumah makan yang sudah lama tapi ganti nama atau malah tutup, saya tak mau Jejamuran nasibnya seperti itu,” tutur Ratidjo. Menurut dia, salah satu sebab Jejamuran sukses seperti sekarang adalah sumber daya yang andal.

Ratidjo menekankan ada beberapa kriteria karyawan yang cocok bekerjasama di rumah makan miliknya. Ia menyadari bahwa usahanya tidak butuh pegawai dengan tingkat pendidikan yang terlalu tinggi. Justru, anak muda dari lereng gunung yang tak mengecap bangku kuliah menurutnya punya keinginan kuat untuk bekerja.

Ia juga memilih karyawan yang bersedia bekerja pada hari libur. “Biasanya, kalau berasal dari golongan kurang mampu, semangat kerja semakin tinggi,” ujarnya.

Di sisi lain, sebagai juragan, Ratidjo bersedia membagikan bonus dari perolehan omzet. Bahkan ia mendaftarkan karyawannya untuk menerima asuransi BPJS. Anak-anak karyawannya pun tak jarang yang dibantu pendidikannya oleh Ratidjo.

Bila materi dianggap tak cukup, Ratidjo pun dengan senang hati membina karyawannya. “Setiap Jumat kami kumpul bersama dan saya ajak mereka senam pagi. Saya berusaha ciptakan suasana nyaman sehingga kerja seberat apa pun bisa diselesaikan,” ungkap dia.

Ratidjo berharap usaha yang ia geluti sekarang bisa langgeng, dan bertahan hingga generasi kedua-ketiganya. Makanya, ia mengajarkan anak-anaknya untuk mengelola keuangan dengan benar. Salah satu hal yang ia tekankan kepada anak cucunya adalah menjalani hidup sesuai kebutuhan, bukan sesuai dengan kesenangan.   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi