Koleksi seringkali menjadi lahan rezeki. Sebagian orang telah membuktikannya. Tengok saja kisah sukses Lianna. Bermula dari melayani pesanan teman-temannya di dunia maya, Lianna sukses mengantarkan sepatu batik La Spina ke pasar internasional. Keunikan dan kualitas produk merupakan kunci Lianna merebut pasar dan berbagai penghargaan bergengsi di luar negeri. Kini, La Spina diincar sebagai sepatu kru penerbangan sebuah maskapai nasional. Wanita ini gemar mengoleksi sepatu sedari muda. Sayang, kehamilan anak pertama pada 2009 memaksanya untuk menunda berbelanja sepatu. Tentu saja, Lianna yang mulanya wanita karier tak betah berdiam di rumah. Ia kembali berburu sepatu, tapi kali ini, tanpa datang ke mal. Perempuan 35 tahun ini rajin berselancar di dunia maya untuk berburu sepatu. Tak disangka, di dunia maya ia menemukan banyak perajin sepatu. Dari sini, Lianna mulai berkreasi. Ia mencoba memesan sepatu custom made dari beberapa perajin. Akhirnya, ia menemukan perajin yang benar-benar andal membuat sepatu sesuai model yang ia inginkan. Yang lebih penting, sepatu itu nyaman dipakai.Lianna juga memamerkan sepatu kreasinya di situs Facebook. Ternyata, ia mendapatkan banyak tanggapan dari teman-temannya. Bahkan, ada juga yang membeli sepatu Lianna. Tak sedikit pula yang menitip pesan sepatu lewat Lianna. “Saya seperti jadi makelar dan mengutip beberapa puluh ribu saja,” ujar dia.Lambat laun, pesanan makin ramai. Tak hanya teman, beberapa pemilik akun Facebook lain yang melihat sepatu Lianna pun ikut memesan. Sayang, saat pesanan sepatu ramai, sang perajin justru memutuskan kerja sama secara sepihak karena kewalahan memenuhi pesanan. “Padahal, saat itu, ada pesanan sepatu dari 30 orang yang uangnya sudah saya terima dan tak mau dikembalikan,” cerita Lianna.Tak mau mengecewakan pelanggannya, perempuan asal Semarang ini pun berburu perajin. “Saya berjalan kaki, keluar masuk kampung di Bogor, mencari perajin sepatu yang benar-benar bagus,” tutur Lianna. Akhirnya, ia pun menemukan perajin sepatu dengan standar kualitas sesuai keinginannya di Bandung.Tak seperti kerja samanya dengan perajin di Jakarta, dengan perajin sepatu di Bandung ini, Lianna memasok semua bahan produksi sepatu. Dengan kata lain, si perajin hanya mengerjakan sepatu sesuai desain Lianna. Namun, dengan bentuk kerja sama seperti ini, ia justru menuai kerugian. “Banyak modal yang saya keluarkan hanya berhenti di bahan pembuatan sepatu,” katanya.Berkat InacraftPengalaman itu memunculkan ide untuk memproduksi sepatu sendiri. Lianna mulai memikirkan produk sepatu yang punya ciri khas untuk mencuri perhatian pasar. Booming batik pada 2010 memberinya ide untuk membuat sepatu berbahan batik. Apalagi, di awal 2010, hasil risetnya menunjukkan, belum banyak sepatu batik. Yang ada hanya sandal batik yang dijual di sentra suvenir di Yogyakarta. “Saya berpikir kenapa tidak membuat sepatu batik yang berkelas, apalagi, batik garut sedang hot dengan motif dan warna yang cerah,” ujar Lianna.Dengan menambah modal puluhan juta, Lianna pun mulai mengembangkan sepatu batik. Ia melakukan banyak uji coba untuk melekatkan kain batik ke bahan lain yang menjadi dasar sepatu. “Enggak gampang ternyata. Misal dari pengeleman, bisa masuk angin atau menggelembung, lem mengelupas, dan lainnya,” jelas Lianna. Selain itu, ia menjalin relasi dengan pembatik untuk mendapatkan skala motif batik sesuai dengan ukuran sepatu. “Saya juga harus menyesuaikan motifnya, biar sama antara sepatu kanan dan sepatu kiri,” terangnya. Sementara, untuk mendapatkan kenyamanan sepatu saat dipakai, Lianna pun membuat cetakan alas sepatu atau shoelast sendiri.Masalah kembali muncul ketika sepatu batik hasil riset dan pengembangan selama enam bulan itu menumpuk di gudangnya. “Ada lebih dari 200 pasang sepatu,” ujar Lianna. Pameran kerajinan Inacraft pun menjadi tumpuannya untuk memasarkan sepatu batik. Nyatanya, untuk menembus ajang tersebut tidak mudah. Ia harus berjuang karena semua stan telah tersewa. Kesempatan datang ketika Kementerian Perdagangan menawarkan booth gratis untuk UKM. Namun, meski produknya unik, La Spina gagal mendapat ruang.Lianna baru mendapatkan tempat di pameran kerajinan itu, ketika ada peserta yang mengundurkan diri. Itu pun sudah H-4 menjelang pembukaan pameran. “Saya pontang-panting karena tak punya persiapan sama sekali,” ujar dia.Tapi, perjuangannya terbayar. Di hari ketiga pameran, sepatu La Spina ludes. “Banyak media yang meliput,” ujarnya. Lianna terpaksa meminjam sepatu yang sudah laku, untuk mengisi stan. Pesanan pun membanjir.Dari ajang itu, bisnis Lianna tinggal landas. Tawaran dari penyelenggara pameran pun berdatangan. Bahkan, peritel kelas atas meminta agar La Spina mengisi etalasenya.Tak hanya dari dalam negeri, Lianna juga menuai penghargaan dari luar negeri. Sudah dua kali La Spina diundang Asian Japan Center untuk mengisi pameran di sana. Beberapa pameran di luar negeri turut mengundang Lianna. Terakhir, Lianna meraih juara satu Cartier Women’s Initiative Award 2012 untuk Asia Pasifik. “Itu paling berkesan karena pertama kalinya pemenang dari Indonesia. Saya bisa ke Paris membawa La Spina,” katanya.Kini, Lianna mampu memproduksi 500 pasang sepatu sebulan. Dengan 15 karyawannya, produksi sepatu masih ia lakukan secara handmande. Tak hanya memasarkan di dalam negeri, ia juga mengirimkan produknya hingga ke Afrika Selatan. “Saya sedang berusaha menembus pasar Amerika Serikat,” ujar Lianna yakin. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berkat sepatu batik, Lianna melenggang ke Paris
Koleksi seringkali menjadi lahan rezeki. Sebagian orang telah membuktikannya. Tengok saja kisah sukses Lianna. Bermula dari melayani pesanan teman-temannya di dunia maya, Lianna sukses mengantarkan sepatu batik La Spina ke pasar internasional. Keunikan dan kualitas produk merupakan kunci Lianna merebut pasar dan berbagai penghargaan bergengsi di luar negeri. Kini, La Spina diincar sebagai sepatu kru penerbangan sebuah maskapai nasional. Wanita ini gemar mengoleksi sepatu sedari muda. Sayang, kehamilan anak pertama pada 2009 memaksanya untuk menunda berbelanja sepatu. Tentu saja, Lianna yang mulanya wanita karier tak betah berdiam di rumah. Ia kembali berburu sepatu, tapi kali ini, tanpa datang ke mal. Perempuan 35 tahun ini rajin berselancar di dunia maya untuk berburu sepatu. Tak disangka, di dunia maya ia menemukan banyak perajin sepatu. Dari sini, Lianna mulai berkreasi. Ia mencoba memesan sepatu custom made dari beberapa perajin. Akhirnya, ia menemukan perajin yang benar-benar andal membuat sepatu sesuai model yang ia inginkan. Yang lebih penting, sepatu itu nyaman dipakai.Lianna juga memamerkan sepatu kreasinya di situs Facebook. Ternyata, ia mendapatkan banyak tanggapan dari teman-temannya. Bahkan, ada juga yang membeli sepatu Lianna. Tak sedikit pula yang menitip pesan sepatu lewat Lianna. “Saya seperti jadi makelar dan mengutip beberapa puluh ribu saja,” ujar dia.Lambat laun, pesanan makin ramai. Tak hanya teman, beberapa pemilik akun Facebook lain yang melihat sepatu Lianna pun ikut memesan. Sayang, saat pesanan sepatu ramai, sang perajin justru memutuskan kerja sama secara sepihak karena kewalahan memenuhi pesanan. “Padahal, saat itu, ada pesanan sepatu dari 30 orang yang uangnya sudah saya terima dan tak mau dikembalikan,” cerita Lianna.Tak mau mengecewakan pelanggannya, perempuan asal Semarang ini pun berburu perajin. “Saya berjalan kaki, keluar masuk kampung di Bogor, mencari perajin sepatu yang benar-benar bagus,” tutur Lianna. Akhirnya, ia pun menemukan perajin sepatu dengan standar kualitas sesuai keinginannya di Bandung.Tak seperti kerja samanya dengan perajin di Jakarta, dengan perajin sepatu di Bandung ini, Lianna memasok semua bahan produksi sepatu. Dengan kata lain, si perajin hanya mengerjakan sepatu sesuai desain Lianna. Namun, dengan bentuk kerja sama seperti ini, ia justru menuai kerugian. “Banyak modal yang saya keluarkan hanya berhenti di bahan pembuatan sepatu,” katanya.Berkat InacraftPengalaman itu memunculkan ide untuk memproduksi sepatu sendiri. Lianna mulai memikirkan produk sepatu yang punya ciri khas untuk mencuri perhatian pasar. Booming batik pada 2010 memberinya ide untuk membuat sepatu berbahan batik. Apalagi, di awal 2010, hasil risetnya menunjukkan, belum banyak sepatu batik. Yang ada hanya sandal batik yang dijual di sentra suvenir di Yogyakarta. “Saya berpikir kenapa tidak membuat sepatu batik yang berkelas, apalagi, batik garut sedang hot dengan motif dan warna yang cerah,” ujar Lianna.Dengan menambah modal puluhan juta, Lianna pun mulai mengembangkan sepatu batik. Ia melakukan banyak uji coba untuk melekatkan kain batik ke bahan lain yang menjadi dasar sepatu. “Enggak gampang ternyata. Misal dari pengeleman, bisa masuk angin atau menggelembung, lem mengelupas, dan lainnya,” jelas Lianna. Selain itu, ia menjalin relasi dengan pembatik untuk mendapatkan skala motif batik sesuai dengan ukuran sepatu. “Saya juga harus menyesuaikan motifnya, biar sama antara sepatu kanan dan sepatu kiri,” terangnya. Sementara, untuk mendapatkan kenyamanan sepatu saat dipakai, Lianna pun membuat cetakan alas sepatu atau shoelast sendiri.Masalah kembali muncul ketika sepatu batik hasil riset dan pengembangan selama enam bulan itu menumpuk di gudangnya. “Ada lebih dari 200 pasang sepatu,” ujar Lianna. Pameran kerajinan Inacraft pun menjadi tumpuannya untuk memasarkan sepatu batik. Nyatanya, untuk menembus ajang tersebut tidak mudah. Ia harus berjuang karena semua stan telah tersewa. Kesempatan datang ketika Kementerian Perdagangan menawarkan booth gratis untuk UKM. Namun, meski produknya unik, La Spina gagal mendapat ruang.Lianna baru mendapatkan tempat di pameran kerajinan itu, ketika ada peserta yang mengundurkan diri. Itu pun sudah H-4 menjelang pembukaan pameran. “Saya pontang-panting karena tak punya persiapan sama sekali,” ujar dia.Tapi, perjuangannya terbayar. Di hari ketiga pameran, sepatu La Spina ludes. “Banyak media yang meliput,” ujarnya. Lianna terpaksa meminjam sepatu yang sudah laku, untuk mengisi stan. Pesanan pun membanjir.Dari ajang itu, bisnis Lianna tinggal landas. Tawaran dari penyelenggara pameran pun berdatangan. Bahkan, peritel kelas atas meminta agar La Spina mengisi etalasenya.Tak hanya dari dalam negeri, Lianna juga menuai penghargaan dari luar negeri. Sudah dua kali La Spina diundang Asian Japan Center untuk mengisi pameran di sana. Beberapa pameran di luar negeri turut mengundang Lianna. Terakhir, Lianna meraih juara satu Cartier Women’s Initiative Award 2012 untuk Asia Pasifik. “Itu paling berkesan karena pertama kalinya pemenang dari Indonesia. Saya bisa ke Paris membawa La Spina,” katanya.Kini, Lianna mampu memproduksi 500 pasang sepatu sebulan. Dengan 15 karyawannya, produksi sepatu masih ia lakukan secara handmande. Tak hanya memasarkan di dalam negeri, ia juga mengirimkan produknya hingga ke Afrika Selatan. “Saya sedang berusaha menembus pasar Amerika Serikat,” ujar Lianna yakin. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News