KUALA LUMPUR. Sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan atau Roundtable of Sustainability (RSPO) mengadopsi syarat High Carbon Stock (HCS) sejak tahun lalu. Meski begitu, syarat pekebun sawit memperhatikan kawasan penghasil karbon tinggi ini, masih belum bisa diterapkan. Pasalnya, belum ada definisi pasti atau konsensus mengenai standar kawasan HCS dan peraturannya. Secara luas, kawasan penghasil karbon ini antara lain lahan gambut, hutan primer, dan hutan hujan. Studi mengenai HCS berkaitan dengan komiten perusahaan sawit mengurangi deforestasi. Pasalnya, penebangan dan pembukaan lahan sawit kerap dituduh sebagai biang kerok penghasil gas rumah kaca dan mengurangi penghasil karbon. United Nations Environment Programme (UNEP) menghitung, pembukaan hutan menyumbang hampir 20% dari gas rumah kaca global.
Sejatinya, sudah ada beberapa penelitian mengenai kawasan HCS. Salah satunya diinisiasi Greenpeace, Golden Agri Reseources, dan The Forest Trust. Grant Rosoman, Global Forest Solutions Coordinator, Greenpeace International menjelaskan, studi ini untuk mengidentifikasi spot hutan penghasil karbon tinggi serta mengembalikan fungsi hutan. Penelitian ini juga bisa digunakan sebagai panduan hutan mana yang tak bisa dijamah produsen dan mengurangi deforestasi. Dikaitkan dengan Sustainability Palm Oil Manifesto (SPOM), studi ini fokus pada emisi gas rumah kaca, sambil mempertimbangkan efek sosial ekonomi yang muncul dari keberadaan kebun sawit. Terbaru, seorang pakar ekologi tanah John Raison juga menggelar penelitian HCS sejak November lalu. Perusahaan yang mendukung studi ini yaitu Asian Agri, Sime Darby Plantation, Musium Mas GroupĀ dan IOI Corporation Berhad, Kuala Lumpur Kepong Berhad, Cargill, Unilever, dan Wilmar. Kajian ini diharapkan selesai dalam 12 bulan. Tak hanya meneliti kerapatan hutan, Raison dan 6 anggota peneliti lainnya bertujuan mencari definisi HCS dari potensi emisi rumah kaca atau greenhouse gases (GHG) juga dari tanah, seperti lahan gambut. Menurut Raison, lahan gambut yang dikeringkan untuk menjadi lahan sawit, berpotensi melepas emisi. Studi kasus Raison akan dilakukan di kawasan Afrika, Indonesia, dan Malaysia. Tapi, Raison bilang, pemetaan lahan HCS akan ikut menghitung aspek sosial ekonomi warga sekitar. Jadi, hasilnya bisa lebih ketat ketimbang studi HCS buatan Greenpeace, bisa juga lebih longgar. Hasil studi ini akan direkomendasikan pada pemerintah, diteruskan pada level daerah, dan juga pada konsesi atau perkebunan. "Kami memberi rekomendasi yang fleksibel, tapi keputusan akan ada di tangan pemerintah, apakah memperbolehkan konsesi dibuka di lahan penghasil HCS, atau sebaliknya," kata Raison setelah Sidang RSPO ke-12 di Kuala Lumpur, Rabu (19/11).
Menurut dia, tantangan menawarkan rekomendasi ini pada pemerintah termasuk cukup besar, mengingat pemerintah Indonesia terbilang leluasa memberikan izin pembukaan lahan sawit. Faizal Parish, Direktur Global Environment Center mengatakan, lebih jauh, kajian HCS diharapkan memberi definisi baru mengenai pembangunan. "Pembangunan dengan cara membabat lahan, itu merusak," kata dia. Perusahaan sawit, menurut dia, juga harus memikirkan diversifikasi dan mencari definisi pembangunan yang lain agar tak mentok pada deforestasi. Direktur RSPO Desi Kusumadewi mengakui, syarat ini menambah jajaran syarat untuk mendapat sertifikasi RSPO. Namun, dia tidak khawatir lantaran selama ini, korporasi di Indonesia sudah mematuhi ketentuan penggunaan hutan dari pemerintah. Namun, kajian ini akan memberikan gambaran jelas mengenai HCS, menjaga alam, serta mendorong pengembangan industri sawit berkelanjutan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie