KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian jadi perumpamaan yang tepat dalam menggambarkan kisah investasi Susanto Chandra. Sosok yang kini menjabat sebagai Chief Investment Officer (CIO) Surya Timur Alam Raya Asset Management (STAR AM) ini memulai perjalanan investasinya dengan pahit. Pada 2008 silam semasa dia masih menjadi mahasiswa, Susanto mulai menjajal peruntungannya di pasar saham. Berawal dari ajakan teman, dia pun tergoda karena potensi cuan yang menggiurkan dari pasar saham. Padahal, saat itu, dia tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman sama sekali terkait instrumen saham. Perjalanan investasinya langsung berakhir tragis. Berbarengan dengan terjadinya krisis moneter, portofolio saham Susanto pun merah menyala. Bahkan, kerugian nilai investasinya kala itu mencapai 90%.
“Karena tidak mengerti dan sebatas ikut-ikutan teman, akhirnya uang tabungan selama masa kuliah akhirnya hilang begitu saja,” ujar Susanto kepada Kontan.co.id, belum lama ini.
Baca Juga: Tips Memulai Investasi dan Jenis Investasi yang Aman untuk Pemula Alih-alih kapok dan menyesal, pria yang menempuh pendidikan ilmu komputer ini justru termotivasi untuk mengenal lebih jauh pasar saham. Dari kegagalan tersebut, Susanto mulai mencari tahu dan membaca buku-buku yang berkaitan dengan saham. Bahkan, Susanto rela banting setir dari pekerjaannya semula sebagai
junior consultant di lembaga audit untuk mengikuti
management trainee di Danareksa. Sempat kesulitan beradaptasi, Susanto berakhir menjadi lulusan terbaik. Tak hanya itu, dia juga berhasil mendapatkan pengetahuan terkait industri pasar modal dan seluk-beluk ilmu investasi. Berbekal pengetahuan tersebut, Susanto memulai kembali perjalanan investasinya. Dia membagi dua keranjang investasinya, yakni melalui reksadana saham dan saham. Hal ini dilakukan karena dia berupaya mengelola portofolio sahamnya untuk bisa mengungguli kinerja reksadana saham yang dia miliki. “Investasi kan tidak instan, jadi 2-3 tahun awal itu kinerja portofolio saham selalu kalah dari reksadana saham. Alih-alih bertambah, uangnya justru turun, tapi ini saya anggap sebagai uang belajar,” ujar pria lulusan Universitas Bina Nusantara ini.
Baca Juga: Mengintip Potensi Pasar Kripto Indonesia di Tengah Tekanan yang Dihadapi Setelah bersusah payah, akhirnya Susanto merasakan manisnya cuan investasi pada 2016-2018 silam. Terbantu dengan IHSG yang berhasil menguat lebih dari 50%, portofolio saham miliknya akhirnya memberikan keuntungan yang memuaskan. Dia mengisahkan, jika perjalanan investasi sebelumnya bisa membuat dia kehilangan mobil, berkat keuntungan kali ini dia bisa membeli mobil bahkan rumah. Dalam artian lain, investasinya kini telah memperlihatkan hasil. Kendati begitu, Susanto tak berpuas diri, kini misinya adalah untuk terus mengembangkan apa yang telah didapat.
Aktif Kelola Keranjang Investasi
Bagi Susanto, aktif mengatur keranjang portofolio adalah hal penting yang harus dilakukan investor. Contohnya, dengan kondisi pasar saat ini yang
volatile dan banyak ketidakpastian, dia memilih memarkirkan dananya. “Saat ini, 80% dari portfolio dialokasikan ke reksadana pasar uang. Lalu 10% pada saham, 5% pada aset kripto, dan 5% sisanya di instrumen lainnya,” imbuh Susanto. Menurut dia, dengan laju inflasi yang tinggi, ketegangan geopolitik, dan ancaman reseai, maka bank sentral akan serentak mengetatkan kebijakan moneter. Uang yang tadinya digenjot lewat berbagai stimulus akan disedot kembali. Oleh karena itu dia lebih memilih memarkirkan dananya di reksadana pasar uang. Barulah nanti ketika ekonomi sudah membaik, porsi aset berisiko akan kembali diperbesar. Selain aktif mengatur komposisi portofolio, Susanto juga membagi keranjang investasinya berdasarkan masing-masing tujuan. Misalnya, untuk yang bertujuan jangka pendek, maka porsi reksadana pasar uang jadi yang terbesar. Lalu, jika tujuannya memiliki jangka waktu 3-5 tahun, instrumen berbasis pendapatan tetap jadi pilihan. Sementara jika lebih dari 5 tahun, porsi saham akan jadi yang terbesar.
Baca Juga: CEO Fourtis, Yasa Singgih: Memulai Investasi dari Sejak SMA Pantang Ikut-Ikutan
Belajar dari kesalahannya terdahulu, dia mengingatkan para investor pemula sebaiknya jangan tergoda untuk berinvestasi jika sebatas ikut-ikutan. Baginya, seorang investor harus tahu persis apa yang hendak dia lakukan dalam mencapai tujuan investasi. Selain itu, tahu seluk-beluk karakteristik dan cara kerja sebuah instrumen juga jadi faktor yang tak kalah penting. Berikutnya, investor juga harus punya
money management yang baik agar setiap pengambilan keputusan investasi tidak hanya sebatas nafsu belaka, tapi sudah melalui penghitungan. Jika memang belum mengerti soal investasi, Susanto menyarankan berinvestasi pada reksadana bisa jadi pilihan. Hal ini seiring dana investor akan dikelola oleh tenaga profesional, yakni manajer investasi. “Jika memang sudah memiliki dasar-dasar investasi, sebaiknya segera langsung menjajal investasi. Pada prinsipnya,
time in the market jauh lebih baik dan bisa mengungguli
market timing yang jauh lebih sulit ditebak,” tutup pria yang sudah malang melintang di industri pasar modal selama 12 tahun ini.
Baca Juga: Dilanda Inflasi Tinggi, Robert Kiyosaki: AS Produksi Gelembung, Ini Investasi Terbaik Tak Mau Kelewatan Jajal Aset Kripto
Sempat dibuat babak belur oleh merosotnya kinerja saham yang dimiliki tak membuat Susanto Chandra kapok berinvestasi. Kerugian tersebut justru membuatnya tersadar bahwa jika melakukan investasi dengan benar, maka potensi keuntungan yang bisa didapat juga bisa jauh lebih besar. Alhasil, kini pria yang bergelar master pada ekonomi terapan ini justru gemar mengulik berbagai instrumen investasi. Teranyar, dia juga mengalokasikan keranjang portofolionya untuk berinvestasi pada instrumen aset kripto. “Dengan populernya aset kripto, tak ada salahnya untuk mempelajari dan mencoba berinvestasi pada aset berbasis teknologi ini,” ujar dia.
Baca Juga: Tips Investasi Defensif Saat Pasar Global dalam Ketidakpastian Susanto tak menampik, berinvestasi pada aset kripto punya pendekatan yang jauh berbeda dengan instrumen saham. Jika pada saham, investor akan mengandalkan analisa fundamental hingga prospek bisnisnya. Sedangkan pada aset kripto, pendekatan yang dilakukan lebih berdasarkan analisa
supply-demand hingga sentimen yang ada di pasar. Susanto mengungkapkan, dalam berinvestasi pada aset kripto, ada yang bisa dilakukan secara jangka panjang, ataupun hanya sebatas
trading. Terlebih, pada aset kripto ada fitur untuk melakukan
short ketika terjadi tren koreksi harga. “Sebenarnya berinvestasi pada kripto diibaratkan menambah bumbu, agar pengalaman berinvestasi jauh lebih menarik dan tidak membosankan,” tutup Susanto. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati