Berpotensi delisting, RIMO: Untuk bayar karyawan saja ngos-ngosan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pada 11 Februari lalu, Bursa Efek Indonesia (BEI) mengumumkan potensi delisting untuk saham PT Rimo International Lestari Tbk (RIMO). Saham RIMO sudah kena suspensi di seluruh pasar sejak 11 Februari 2020.

Sesuai ketentuan, delisting bisa dilakukan jika suspensi sudah berjalan 24 bulan. Dengan demikian, delisting saham RIMO berpotensi terjadi pada 11 Februari 2022.

Sementara itu, berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 3/POJK.04/2021 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (POJK Pengganti PP 45/1995) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan perusahaan terbuka yang akan menjadi perusahaan tertutup (go private) untuk melakukan pembelian kembali (buyback) saham yang beredar di publik.


Kewajiban buyback saham publik ini berlaku bagi emiten yang melakukan penghapusan pencatatan secara sukarela (voluntary delisting) maupun yang terpaksa delisting karena perintah OJK ataupun permohonan Bursa Efek Indonesia (BEI) atau forced delisting.

Baca Juga: OJK wajibkan perusahaan terbuka untuk mencatatkan saham di BEI

Direktur RIMO Henry Poerwantoro mengakui operasional Rimo International tertekan. "Untuk bayar karyawan saja sudah ngos-ngosan," ujar dia kepada kontan.co.id, Rabu (10/3).

Hal tersebut sejalan dengan operasional yang tersendat semuanya akibat pandemi Covid-19. Akibatnya, okupansi hotel dan pusat perbelanjaannya turun signifikan. "Saya belum update detilnya, tapi yang pasti drop," tuturnya.

Di sisi lain, salah satu aset properti perusahaan yang siap jual, South Hill tengah disita terkait dengan permasalahan hukum terhadap Benny Tjokosaputro. Karenanya, Henry bilang saat ini perusahaan hanya mengelola satu hotel dan satu pusat perbelanjaan di Pontianak.

Baca Juga: Beberapa emiten berpotensi delisting, investor perlu berhati-hati

Sebelumnya, melalui keterbukaan di BEI, manajemen RIMO berharap untuk mendorong operasional perusahaan aset yang dirampas untuk negara dapat segera dikembalikan dan suspensi perdagangan saham RIMO dapat segera dibuka kembali. Karena itu, untuk strategi di tahun ini manajemen menyebutkan belum bisa dirancang secara penuh. "Untuk saat ini kami hanya bisa bertahan dan berdoa," imbuh Henry.

Henry enggan menegaskan terkait aturan buyback saham. "Itu wewenang direktur utama," kata dia.

Untuk diketahui, mayoritas saham RIMO dimiliki oleh publik dengan porsi sebanyak 78,30%. Selebihnya saham RIMO dimiliki oleh Teddy Tjokrosaputro sebesar 5,67%, PT Asabri (Persero) 5,44% dan NBS Client sebesar 10,58%.

Baca Juga: Lindungi investor publik, OJK wajibkan emiten delisting untuk buyback saham

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati