Berpotensi jadi NPL, sekitar 11% debitur restrukturisasi Bank Mandiri berisiko tinggi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) akan fokus melakukan analisa terhadap debitur yang sudah direstrukturisasi. Langkah ini dilakukan untuk melihat apakah debitur yang bersangkutan membutuhkan perpanjangan relaksasi lagi. Maklum, Bank Mandiri melihat sebagian debitur yang direstrukturisasi sulit untuk bangkit.

Ahmad Siddik Badruddin, Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri mengatakan, perpanjangan tenor restrukturisasi hanya akan diberikan kepada debitur yang memang masih bisa bangkit. Sedangkan yang sudah kelihatan tidak bisa bangkit lagi akan langsung diturunkan menjadi kredit bermasalah atau non performing loan (NPL). 

Ia menambahkan, ada sekitar 10%-11% dari debitur yang  sudah direstrukturisasi Bank Mandiri memiliki risiko sangat tinggi saat ini. 


"Itu kira-kira yang akan kami antisipasi tahun depan yang mungkin di downgrade ke NPL. Karena tidak ada gunanya dilakukan restrukturisasi baru kalau dia akan mati," kata Siddik dalam paparan kinerja virtual yang digelar Senin (26/10). 

Baca Juga: Walau kredit tersendat, aset perbankan tetap tumbuh tinggi

Sementara itu, Siddik memperkirakan permintaan restrukturisasi dari debitur baru tidak akan banyak lagi meskipun ada perpanjangan relaksasi dari OJK. 

Hal itu tentu dengan asumsi penanganan Covid-19 tidak akan lebih buruk dari kondisi saat ini. Sehingga meski ada PSBB, dampaknya tidak akan terlalu besar ke pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). 

Per 30 September 2020, Bank Mandiri juga telah merestrukturisasi kredit sebesar Rp 116,4 triliun dari 525.665 debitur, dimana Rp 47,7 triliun berasal dari 406.434 debitur UMKM. 

Seperti diketahui, kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit yang tertuang dalam POJK No.11/POJK.03/2020 awalnya hanya berlaku selama setahun dan akan berakhir pada Maret 2021. Namun, OJK memutuskan melakukan perpanjangan satu tahun lagi setelah memperhatikan asesmen terakhir terhadap debitur perbankan. 

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, perpanjangan relaksasi restrukturisasi ini sebagai langkah antisipasi untuk menyangga terjadinya penurunan kualitas debitur restrukturisasi.  

"Namun kebijakan perpanjangan restrukturisasi diberikan secara selektif berdasarkan asesmen bank untuk menghindari moral hazard agar debitur tetap mau dan mampu melakukan kegiatan ekonomi dengan beradaptasi di tengah masa pandemi ini,” kata Wimboh dalam keterangan resminya, Jumat (23/10).

OJK segera memfinalisasi kebijakan perpanjangan restrukturisasi ini dalam bentuk POJK termasuk memperpanjang beberapa stimulus lanjutan yang terkait antara lain pengecualian perhitungan aset berkualitas rendah (loan at risk) dalam penilaian tingkat kesehatan bank, governance persetujuan kredit restrukturisasi, penyesuaian pemenuhan capital conservation buffer dan penilaian kualitas Agunan yang Diambil Alih (AYDA) serta penundaan implementasi Basel III.

Selanjutnya: Kredit komersial jadi andalan saat ekonomi mulai pulih

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi