KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengumumkan bahwa fenomena La Nina akan segera menggantikan El Nino. La Nina adalah fenomena alam yang menyebabkan udara terasa lebih dingin sehingga mengalami peningkatan curah hujan. Dilansir dari laman BMKG, La Nina berupa embusan angin pasat dari Pasifik timur ke arah barat sepanjang ekuator menjadi lebih kuat dari biasanya.
Menguatnya angin pasat mendorong massa air laut ke arah barat sehingga di Pasifik timur suhu muka laut menjadi lebih dingin. La Nina terjadi ketika El Nino sudah melemah dan berada di fase normal. Saat ini, BMKG menyampaikan bahwa El Nino mulai melemah dan diprediksi akan beralih ke netral pada Mei 2024. Lantas, kapan La Nina terjadi?
La Nina diperkirakan terjadi Juli-Agustus
Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG Supari mengatakan, La Nina diperkirakan terjadi pada Juli-Agustus 2024. Supari menyampaikan, setelah El Nino melemah dan beralih ke fase netral, fenomena selanjutnya adalah La Nina.
Baca Juga: BMKG Sebut El Nino Berpotensi Digantikan La Nina, Ini Dampaknya Menurut BMKG, saat ini La Nina berpeluang menggantikan El Nino sebesar 60 persen. Sementara 40 persen lainnya, berpeluang dari El Nino ke kondisi netral atau tidak terjadi La Nina. Meskipun begitu, kondisi netral ini diperkirakan hanya bertahan setidaknya sampai Juli 2024. Artinya, La Nina akan tetap terjadi pada semester kedua 2024, yaitu pada periode Juli-Agustus. "Fenomena La Nina terjadi di Samudra Pasifik, diprediksi terjadi pada Juli-Agustus," kata Supari, saat dihubungi Kompas.com, Senin (29/4/2024). Menurut data pengamatannya, tahun ini fenomena La Nina diprediksi akan lemah. Sebetulnya, Supari berkata, fenomena La Nina cukup unik karena intensitasnya tidak mungkin sama persis dengan tahun-tahun sebelumnya.
Dilansir dari Kompas.com (2022), La Nina terjadi ketika suhu muka laut (SML) di Samudra Pasifik bagian tengah mengalami pendinginan hingga di bawah suhu normal. Pendinginan tersebut berpotensi mengurangi pertumbuhan awan di Samudra Pasifik tengah. Selain itu, angin pasat atau trade winds juga berembus lebih kuat dari biasanya di sepanjang Samudra Pasifik dari Amerika Selatan ke Indonesia. Hal ini menyebabkan massa air hangat terbawa ke Pasifik Barat. Karena massa air hangat yang berpindah tempat inilah, air yang lebih dingin di bawah laut Pasifik akan naik ke permukaan menggantikan massa air hangat atau disebut dengan upwelling.
Baca Juga: Musim Kemarau Diprediksi Mundur, Simak Penjelasan BMKG Editor: Barratut Taqiyyah Rafie