KONTAN.CO.ID - Sebulan terakhir istilah
family office semakin ramai menjadi perbincangan. Meski jika diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai perusahaan keluarga tetapi konsepnya ternyata berbeda. Mengutip Investopedia,
family office adalah firma penasehat pengelolaan kekayaaan swasta yang melayani nasabah super kaya atau
ultra-high-net-worth individual. Ide
family office atau perusahaan keluarga tunggal ini dicetuskan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Indonesia dianggap memiliki kesempatan untuk menarik dana perusahaan keluarga tunggal global yang saat ini kisaran dana kelolaannya bisa mencapai US$ 11,7 triliun.
Berkaca dari data The Wealth Report, populasi individu super kaya di Asia diperkirakan akan tumbuh sebesar 38,3% selama periode 2023 - 2028. Peningkatan jumlah aset finansial dunia yang diinvestasikan di luar negera asal juga diproyeksikan bakal terus meningkat. Menurut Luhut, ini kesempatan Indonesia untuk menarik dana tersebut. “Dengan memiliki
family office, bukan hanya meningkatkan peredaran modal di dalam negeri,tetapi juga menghadirkan potensi peningkatan PDB (produk domestik bruto) dan lapangan kerja dari investasi dan konsumsi lokal,” ujarnya sebagaimana dikutip dalam akun instagramnya lujut.pandjaitan, Kamis (17/7).
Baca Juga: Jadi Contoh RI, Begini Penerapan Family Office di Singapura, Hongkong dan Dubai Kehadiran mereka tidak akan dikenakan pajak, tetapi investasi yang ditanamkan itulah yang akan dikenakan pajak. Namun syaratnya, mereka harus melibatkan sumber daya manusia (SDM) menjadi tenaga kerja untuk bekerja di kantor keluarga tunggal tersebut. Dengan begini, pemerintah Indonesia bisa menjadi lebih kompetitif. Rencananya pemerintah akan menempatkan kantor keluarga tunggal di dua lokasi, yaitu Bali dan Ibu Kota Nusantara (IKN). Bali akan ada 2 lokasi yang bisa dipilih yaitu Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Sanur sementara IKN diharapkan menjadi pusat pemerintahan baru yang mendorong pertumbuhan di Indonesia Timur. Untuk mewujudkannya, saat ini Presiden Joko Widodo tengah menugaskan Menko Kemaritiman untuk melakukan kajian kantor keluarga tunggal. Ada tim lintas kementerian yang dibentuk untuk mengkaji regulasi dan kesiapan penerapannya. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno menyebut tidak ada berarti dalam penerapan kantor keluarga tunggal, hanya penyesuaian regulasi saja. Menurutnya, sekarang ini daya tarik Indonesia bukan hanya di aset keuangan saja, tetapi juga aset-aset lain seperti penanaman modal langsung maupun kegiatan
green investment dan filantropi. “Kita juga bisa menawarkan sesuatu seperti Singapura, Dubai dan Hongkong,” cetusnya. Sebenarnya di Indonesia sendiri, konsep ini sudah mulai dikenal. Namun, keluarga kaya di Tanah Air lebih banyak yang menempatkan pengelolaan investasinya di luar negeri. Dengan adanya kantor keluarga tunggal mereka bisa menempatkan investasinya di dalam negeri, tidak perlu ke luar. Banyak tantangan Menanggapi rencana tersebut, Aswin Rahadi, Dosen
School of Business and Management Institut Teknologi Bandung (SBM ITB) melihat memang sudah saatnya Indonesia membuat kantor keluarga tunggal sendiri. Paling tidak, kekayaan para konglomerat di negeri ini bisa dikelola di Indonesia. “Bukan untuk mengkondisikan dana dari luar masuk, tetapi untuk mengkondisikan yang disini tidak pergi keluar. Selama ini banyak yang masuk ke
family office di Singapura dan Australia,” bebernya. Mungkin agak sulit untuk membuat kaum ultra high untuk masuk, tetapi minimal kekayaan kaum menengah bisa dikelola di dalam negeri. Bagi para konglomerat, kantor keluarga tunggal sudah menjadi kebutuhan. Mereka mencari layanan
one stop service yang bisa melanggengkan kekayaannya dari generasi ke generasi. Namun, konsep ini harus benar-benar dipersiapkan dengan matang dan tidak terburu-buru. Bagaimanapun targetnya adalah kaum ultra high, sekali salah langkah mereka tidak akan mau lagi masuk ke Indonesia. Kemudian dari sisi lokasinya, menurut Aswin sebaiknya pemilihan Bali dan IKN di kaji ulang. Masih banyak daerah lain yang bisa dikembangkan menjadi kantor keluarga tunggal seperti Batam, Surabaya dan Makassar. Kalau Bali, dikhawatirkan kondisinya semakin padat karena disana fokusnya sudah di sektor pariwisata. “Kalau di IKN, diingat lagi, dulu pindah kesana untuk memisahkan pemerintahan dan bisnis, kok sekarang mau digabung lagi.” tandasnya. Diantara tantangan yang ada, menurutnya yang harus dibereskan sejak awal adalah persoalan keamanan data. Jangan sampai kepercayaan para konglomerat hilang karena meragukan kemampuan pemerintah menjaga datanya. Mereka pasti akan lebih memilih negara-negara yang kredibel untuk mengelola aset kekayaannya.
Baca Juga: Faisal Basri Risau Wacana Family Office Jadi Sarang Pencucian Uang Sementara itu Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) lebih mengkhawatirkan potensi Indonesia hanya dijadikan sebagai suaka pajak dan tempat pencucian uang. Kemudian perlu dipertimbangkan juga, konsep ini bertentangan juga dengan upaya mendorong pajak kekayaan. Menurutnya hasil survei menunjukkan 86% masyarakat Indonesia mendukung pemberlakuan pajak kekayaan. Bahkan diantara negara G20 lain, dukungan responden soal pajak kekayaan Indonesia tertinggi. "Jika pemerintah justru mendorong
family office yang bebas pajak maka ini bisa menyulitkan pemerintah dalam mengungkap, menyidik dan memajaki orang kaya," terang Bhima. Kemudian yang jadi kekhawatiran lain, investasi kantor keluarga tunggal tidak masuk ke sektor riil seperti pembangunan pabrik. Melainkan hanya diputar di instrumen keuangan seperti pembelian saham dan surat utang, sehingga dampak ke perputaran ekonominya juga terbatas. Kondisi global Disisi lain, jumlah kantor keluarga tunggal secara global terus mencatatkan peningkatan dari tahun ke tahun. Dua tahun terakhir pertumbuhannya mencapai kisaran 38%. Mayoritas berlokasi di Amerika Utara. Kantor keluarga tunggal Campden Wealth memperkirakan saat ini terdapat 7.300 kantor keluarga di seluruh dunia. Adapun rinciannya 42% berlokasi di Amerika Utara, 32% di Eropa, 18% di Asia Pasific dan 8% di negara berkembang seperti Amerika Selatan, Afrika dan Timur Tengah. Direktur Penelitian Campden Wealth, Rebecca Gooch mengatakan pertumbuhan terbesar terjad di negara berkembang. Jumlah kantor keluarga tunggal meningkat setengahnya selama dua tahun terakhir. Perkiraan total kekayaan keluarga yang mereka kelola mencapai US$ 9,4 triliun. “Tren
family office ini terbantu karena kelompok ultra kaya (mereka yang memiliki kekayaan diatas 50 juta) tumbuh semakin kaya,” ujarnya seperti dikutip dari Reuters, Kamis (18/7). Polanya ketika kelompok kaya menargetkan diversifikasi investasi yang lebih besar atau menyerahkan kendali pada penerusnya, maka disitulah bermunculan
family office di pusat keungan negara berkambang. Kantor keluarga menawarkan solusi terpadu untuk mengelola kekayaan orang kaya, termasuk investasi, sumbangan amal, perpajakan, dan transfer kekayaan. Dikelola oleh para bankir, fund manager, pengacara dan ahli perpajakan, beberapa di antaranya bahkan menyediakan sekolah swasta di luar negeri dan pengaturan perjalanan sebagai layanan tambahan.
Baca Juga: Family Office Akan Bebas Pajak, Menteri Suharso: Kasihan Sri Mulyani Di kawasan Asia sendiri, Singapura dan Hongkong adalah negara yang banyak menjadi tujuan kaum ultra high untuk mengelola kekayaannya. Situasinya sekarang Hongkong lebih banyak dipilih pasca kasus pencucian uang senilai US$3 miliar membuat kantor keluarga tunggal di Singapura menjadi sorotan. Padahal selama ini kedua negara saling bersaing mendapatkan investor. Saat pandemi Covid-19 kemarin, berbondong-bonding investor China masuk ke Singapura. Namun sekarang berbalik, iklim bisnis yang semakin baik di Hongkong, sementara Singapura malah menerapkan peraturan pencucian uang yang semakin ketat sehingga membuat beberap nasabah enggan. Dilansir dari Reuters, Menteri Keuangan Hongkong Paul Chan Mo-Po mengatakan hingga akhir 2023, total aset yang dikelola Hongkong tumbuh 2,1% menjadi US$ 4 triliun. Arus masuk dana bersih melonjak lebih dari 3 kali lipat dibanding tahun lalu. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Putri Werdiningsih