Aksi balas kebijakan dagang dua negara raksasa ekonomi Amerika Serikat (AS) dan China, kembali menebar tanya. Ke mana krisis ini bermuara? Pekan lalu, denyut nadi pasar dunia berdegup lebih cepat. Pasalnya, perang dagang China-AS sejak Juli 2018 memanas lagi. Pemerintahan Presiden AS Donald Trump kembali menaikkan tarif produk China, yang semula 10% menjadi 25% atas US$ 200 miliar produk China. Trump juga mengancam akan menaikkan lagi tarif produk China untuk tambahan US$ 325 miliar. Kebijakan ini dikeluarkan tak lama setelah negosiasi perdagangan dua negara buntu. Alasan utama perundingan tidak berjalan mulus, karena AS menilai China backtracking untuk isu akses pasar dan pencurian Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). China tentunya bereaksi. Berdasarkan Kompas.com, Negara Tirai Bambu itu akan meningkatkan tarif untuk setidaknya US$ 60 miliar produk asal AS per 1 Juni 2019. Beberapa produk yang akan dikenai tarif diantaranya kapas, permesinan hingga bagian pesawat terbang. Setidaknya ada 4000 produk yang akan dikenai peningkatan tarif dari 10% menjadi 25%.
Bisa jadi ancaman China juga menyasar impor kedelai dari AS yang nilainya mencapai US$ 12.8 miliar. Kedelai menjadi komoditas ekspor terbesar kedua AS ke China yang besarnya lebih dari setengah jumlah ekspor AS ke seluruh dunia. Ini memberikan China posisi tawar yang tinggi. China sendiri memiliki substitusi kedelai dari Brasil. Jika China memberlakukan langkah ini, akan berdampak politik cukup signifikan untuk pemerintahan AS. Sebagaimana kita ketahui, kedelai, sorgum, dan otomotif merupakan basis partai republik. Apalagi bulan November nanti akan ada pemilihan Kongres AS. Sementara impor AS dari China tahun lalu mencapai US$ 539 miliar, lebih dari empat kali lipat ekspor AS ke China sekitar US$ 120 miliar. Tapi Amerika Serikat menjual jasa lebih banyak ke China sebesar US$ 38 miliar ketimbang ekspor jasa China ke AS. Ini menjadi surplus terbesar AS bila bicara mengenai China. Jadi tabuhan genderang perang dagang ini sebenernya sangat kuat menarik keduanya menjauh dari tujuan win-win solution. Proyeksi pertumbuhan global pada 2019 pun diperkirakan masih melambat. IMF memproyeksikan pertumbuhan global 2019 di 3,3%, sementara World Bank 2,9%. Dampak ke Indonesia Hiruk-pikuk perang dagang sejak paruh kedua 2018 ini terasa pada penurunan nilai ekspor Indonesia. Fenomena ini ikut memperlambat pertumbuhan ekspor Indonesia, memperlemah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, dan pendalaman defisit neraca perdagangan Indonesia. Jangka panjangnya, akan bergantung pada ketahanan ekonomi China. Apakah perlambatan ekonomi dan kegiatan industri negeri itu menjadi semakin tajam atau tidak? Saat ini terjadi ekonomi kita tentu akan terdampak secara signifikan. Sebab, keterkaitan ekonomi Indonesia dengan China cukup besar. Sebaliknya, ada juga kemungkinan overheating economy dari sisi AS yang memiliki resiko negatif yang cukup kuat. Tapi jika itu terjadi, ekonomi Indonesia kemungkinan tidak akan terlalu terdampak. Karena keterkaitan ekonomi Indonesia dengan AS tidak se-signifikan dengan China. Secara keseluruhan sulit untuk memprediksi berapa besar dampak persisnya. Tapi sebagian besar barang China yang dikenakan extra tariff oleh AS, tidak diproduksi oleh Indonesia. Jadi Indonesia belum bisa memanfaatkan peluang pasar yang tercipta karena perang dagang, terutama untuk meningkatkan ekspor ke AS. Ini yang menyebabkan performa ekspor kita di Q3-Q4 2018 cenderung turun, alih-alih naik. United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) menyebutkan perang dagang paling menguntungkan ekspor dari Uni Eropa, Jepang, dan Australia. Sebab, sebagian besar produk yang dipermasalahkan AS terhadap China adalah barang-barang industri, terutama bagian dan komponen produk manufaktur yang canggih. Misalnya lemari es, panel surya, iPhone, mesin, dll. Sementara itu ekspor utama China ke AS sebagian besar merupakan barang konsumsi atau produk mentah seperti karet, kakao, kopi, aluminium dll. Kami pengusaha melihat, fenomena ini masih abu- abu masih simptomatik. Sulit untuk memprediksi sehingga kami masih wait and see. Namun dengan immediate action, bisa melakukan beberapa upaya. Pertama, maksimalkan kondisi rupiah yang melemah dan menyiasati dengan meningkatkan ekspor, karena barang kita menjadi lebih kompetitif. Kedua, untuk mengatasi volatilitas rupiah, pemerintah perlu meningkatkan utilisasi transaksi perdagangan melalui mekanisme local currency swap (LCS). Saat ini kita sudah memiliki perjanjian LCS dengan China, Jepang, Malaysia dan Thailand. Ketiga, melakukan ekspansi bisnis ke pasar non-tradisional dan pasar tradisional selain AS-China. Upaya ini harus gencar guna mengkalkulasi opportunity lost dari ekspor yang harusnya bisa dilakukan ke China dan AS. Sementara untuk jangka panjang perlu dipertimbangkan beberapa langkah. Pertama, melakukan efisiensi production cost. Pemerintah punya peran sangat besar untuk membuka jalan agar business cost di Indonesia lebih efisien sehingga produk Indonesia berdaya saing tinggi secara global, meski pasarnya surut. Kedua melakukan transisi produk. Guna mengurangi dampak perang dagang AS-China, konsumen dan produser dalam negeri harus cepat beralih dan fokus pada kemampuan domestik. Produsen harus fokus mengembangkan pasar domestik, mengingat pertumbuhan pasar dalam negeri lebih kuat dibandingkan ekspor pasca kebijakan AS. Ketiga, perluasan investasi dan supply chain di dalam negeri, terutama saat perusahaan memiliki basis pasar yang baik di tingkat domestik agar pertumbuhan tetap terjaga. Pengusaha kita punya kemampuan, namun perlu dukungan pemerintah seperti super deductible tax yang sampai saat ini masih belum terealisasi. Opportunity lain yang bisa dijadikan strategi ke depan adalah pemerintah dan dunia usaha bersama-sama merumuskan cara memanfaatkan kondisi ini untuk menarik investasi baik dari perusahaan China maupun AS. Jika China dan AS sama sama menaikkan tarif, kenapa Indonesia tidak menawarkan diri menjadi alternatif bagi perusahaan di kedua negara melakukan relokasi investasi. Jadi semua produk yang saat ini dipermasalahkan kedua negara bisa dipasok dari Indonesia. Jika ini bisa terealisasi, akan menimbulkan efek domino yang positif bagi Indonesia. Apalagi di China saat ini isu ketenagakerjaan yang cukup menantang, akibat adanya kenaikan living cost yang terdampak dari perubahan gaya hidup. Ada potensi negara tirai bambu itu melebarkan rantai produksinya di luar negaranya. Selain itu, pemerintah dan dunia usaha perlu melakukan pemetaan komoditas apa saja yang terdampak, dan yang bisa menjadi substitusi akibat bea impor tinggi. Tahap awal perwakilan Indonesia di China dan AS bisa melobi kemungkinan produk Indonesia menggantikan produk-produk tersebut.
Selanjutnya bisa dilakukan koordinasi dengan Pemerintah Pusat dan melihat kapasitas produksi swasta apakah memungkinkan untuk menyediakan komoditas substitusi itu. Jika mungkin, langkah berikutnya membantu perusahaan Indonesia yang akan ekspor ke kedua negara itu. Ada sejumlah komoditas yang potensial menjadi substitusi ke China, seperti komponen otomotif, produk pertanian seperti kedelai hitam, jagung dan tembakau, juga produk perikanan seperti udang. Untuk ke AS misalnya produk kimia, alat pertanian, komponen penerbangan. Dunia usaha tentunya terbuka dan siap bekerjasama dengan pemerintah untuk menyikapi keadaan ini.♦
Shinta W. Kamdani Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Internasional Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi