Bersama menjahit luka Papua



Kita semua patut menyayangkan aksi demonstrasi sejumlah massa di Jayapura belum lama ini. Para massa yang mengamuk itu membakar gedung Mapolsek Jayapura Kantor Majelis Rakyat Papua, Kantor Telkomsel dan pertokoan PTC, termasuk Lapas Abepura yang dibakar dan dijebol, membuat jalur komunikasi pun terputus. Beruntung aksi tersebut berhasil dipukul mundur oleh aparat gabungan TNI/Polri.

Harus diakui membuncahnya rentetan demonstrasi di sejumlah daerah di Papua mulai dari Manokwari (19/8), Mimika (20/8), Fakfak (21/8), Deyai (28/8) hingga Kota Jayapura (29/8), tidak terlepas dari peristiwa aksi damai di Malang dan Surabaya beberapa waktu lalu yang kemudian berujung rusuh. Hal tersebut dipicu oleh adanya kabar perusakan tiang berbendera merah putih di lingkungan asrama mahasiswa Papua. Kabar tersebut selanjutnya menyulut aksi pengepungan terhadap asrama tersebut oleh aparat disertai ucapan rasis.

Polda Jawa Timur telah menahan Tri Susanti alias Susi tersangka ujaran kebencian dan penyebab berita bohong serta SA yang juga adalah tersangka rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Susi adalah koordinator aksi lapangan pada 17 Agustus di depan Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya. Ia dijerat pasal 45A ayat (2) Jo pasal 28 ayat (2) Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), pasal 160 KUHP, pasal 14 ayat (1) ayat (2) dan pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana. Sedangkan SA yang merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemerintah Kota Surabaya dijerat pasal yang sama, ditambah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Rasis dan Etnis.


Insiden di bumi Papua kemarin telah menyayat keintiman berelasi sosial kebangsaan. Tangan-tangan kotor di balik letupan aksi barbar tersebut bisa jadi mau merusak agenda sakral nasionalisme dengan merecoki suasana batin masyarakat (Papua). Mereka menginginkan masyarakat saling memantik prasangka dan kebencian yang kemudian membuka peluang bagi terjadinya chaos di Papua.

Itu sebabnya ucapan rasis sebagaimana yang mewarnai kemarahan masyarakat Papua kemarin adalah praktik tidak beradab dan tidak nasionalis yang patut ditolak oleh kita semua sebagai bangsa yang besar. Hal tersebut merupakan pelecehan terhadap prinsip nasionalisme.

Kita harusnya belajar dari sejarah bagaimana proyek nasionalisme global di abad ke-20 mengalami kegagalan seiring pecahnya negara-negara Uni Soviet dan Yugoslavia ataupun konflik di negara-negara Balkan (Suriah, Afganistan dan wilayah konflik lainnya saat ini) akibat meredupnya nasionalisme yang ditukar dengan propaganda kebencian dan berbagai isu-isu etnis maupun agama.

Sebagai bangsa yang mengimani demokrasi, hal-hal yang terkait dengan pelecehan identitas atau rasisme adalah kotoran sejarah yang mesti diwaspadai. Identitas, etnis dan agama tentu saat ini dan masa mendatang masih menjadi hal yang penting untuk dipikirkan serius oleh bangsa ini karena bagaimanapun secara esensial setiap orang akan selalu memiliki kebutuhan untuk mengidentifikasi dirinya ke dalam etnik dan agama (Wirutomo, 2015).

Dalam pemikiran Francis Fukuyama (2018), penguatan identitas yang marak belakangan ini bukanlah sesuatu yang baru. Ia adalah bagian dari upaya perlawanan terhadap kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan yang sistematik dan struktural yang dilakukan oleh agen-agen kleptokratis. Karena itulah nasionalisme kebangsaan adalah bagian terpenting dari fungsi negara untuk membangun konsolidasi dan kepatuhan rakyat terhadap norma dan konstitusionalitas bernegara.

Keragaman identitas yang menghiasi NKRI hingga 74 tahun merdeka ini sejatinya merupakan sumbangan sakral untuk menyukseskan megaproyek "menjadi Indonesia", melampaui sekadar pemenuhan agenda pribadi maupun kelompok. Historisitas keindonesiaan kita yang terbentang pada keberagaman identitas, warna kulit, agama, kepercayaan, dengan segala pranata sosialnya juga telah ikut menumbuhkan semangat juang antikolonialisme yang memuluskan penggenapan visi kemerdekaan.

Harus disudahi

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang pluralis dan modern yang tetap memegahkan dirinya di tengah kemajemukan ideologi, politis, kultural hingga struktural, lewat persemaian nilai Pancasila. Pancasila adalah fundamen berbangsa yang sinkron dengan cita-cita dunia tentang nasionalisme (sebelum PD II), perikemanusiaan (pasca PD II), keadilan sosial (akhir abad 20 Masehi), pengakuan pluralisme agama di akhir abad 20 dan demokrasi yang secara kontinu diperjuangkan oleh bangsa Indonesia sampai sekarang. Oleh karena itu, Pancasila telah menjadi ruh fundamental yang memandu bangsa ini menuju pada pintu gerbang keadilan dan kesejahteraan.

Mestinya, nasionalisme untuk menghargai perbedaan menjadi spirit kolektif bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kita jangan lagi melangkah mundur di tengah gerak laju demokrasi, dengan membangun sekat-sekat sosial, membangun klaim-klaim eksklusif termasuk menumbuhkan jentik-jentik perilaku rasis yang hanya akan melahirkan spiral kebencian dan bibit keretakan bangsa.

Rusuh di Papua harus menjadi refleksi penting bagi bangsa ini untuk menata soliditasnya ke depan secara lebih baik, guyup dan harmonis. Presiden Joko Widodo perlu turun langsung mengawal dan memulihkan keadaan, "menjahit" komunikasi dengan warga Papua yang sempat "terluka", lewat para tokoh-tokoh masyarakat dan agama setempat, agar potensi kemarahan masyarakat Papua tidak terus dikapitalisasi para oknum provokator yang tidak senang Papua ada di pangkuan NKRI.

Semua kita adalah anak-anak NKRI yang lahir dari rahim historis yang sama. Warna kulit, perbedaan agama, bukan alasan untuk saling menegasi tetapi justru menjadi justifikasi untuk membangun nilai-nilai dan derajat kemanusiaan yang sejati.

Pada bagian lain kita juga berharap para elite bangsa ini senantiasa menjernihkan cara pandang politik kebangsaan dengan menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila secara benar dan konsekuen di setiap saat dan di mana pun. Bagaimanapun para elite bangsa ini adalah pionir sikap nasionalisme bagi rakyatnya dalam mewujudkan keintiman bernegara yang benar berdasarkan nilai kemartabatan.

Elite tidak boleh lagi tergoda mengkapitalisasi perbedaan etnik, agama demi menjalankan agenda politik yang mengorbankan kesucian tanah tumpah darah. Kita tidak mau apa yang dibilang Montesquieu (dalam The Spirit of Laws, 1989): "Pada suatu republik besar, kebaikan bersama sering dikorbankan demi seribu kepentingan politik," terjadi di sini.♦

Umbu TW Pariangu Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi