Bersama-sama menjaga mata uang rupiah



Beberapa pekan belakangan ini kondisi rupiah terus tertekan terhadap hard currency, dollar Amerika Serikat (AS). Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akhir pekan kemarin ditutup melemah 0,41% dibandingkan pekan yang lalu menjadi Rp 13.816 per dollar AS. Nilai tukar ini merupakan level terendah sejak Januari 2016. Yang menjadi pertanyaan adalah apa pasalnya hal itu bisa terjadi. Hal tersebut bisa terjadi karena, pertama, pasar masih terus mencermati kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve. Kedua, bisa jadi adanya kecemasan pasar terhadap kebijakan AS mengenai tarif impor yang dapat memicu perang dagang global (global trade war), karena genderang perang sudah terlanjur ditabuh Presiden AS Donald Trump akhir-akhir ini.

Terlepas dari posisi mata uang Garuda yang lagi kurang darah, perjalanan mata uang Republik Indonesia tersebut cukup panjang. Sejarah mencatat, rupiah digunakan pertama kali secara resmi saat dikeluarkannya mata uang pada masa pendudukan Jepang. Setelah perang melawan penjajah usai, Bank Jawa (Javaans Bank) yang kemudian dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia (BI) merupakan otorisasi mata uang ini sampai sekarang. Padahal saat itu, tentara sekutu mengeluarkan mata uang gulden sebagai propaganda pembayaran. Meskipun saat itu rupiah sudah digunakan masyarakat secara luas, tapi pada saat itu pulalah mata uang rupiah mendapatkan banyak ujian dan tantangan.

Ujian besar perjalanan rupiah dimulai sejak tahun 1946. Saat itu nilai tukar rupiah berada pada level 1 dollar AS sama dengan Rp 1,88, tidak beda jauh. Namun 70 tahun kemudian nilai tukar rupiah menjadi berkisar 1 dollar AS menembus level Rp 14.000 atau mengalami penurunan menjadi sekitar lima ribu kali lipat.


Coba mari kita bandingkan dengan soft currency yang lainnya, real Arab Saudi misalnya. Dulu, saat kakek kita naik haji ke Mekah, 1 real dapat membeli se bungkus nasi rames. Dan, saat inipun 1 real masih dapat satu bungkus nasi rames.

Pada tanggal 6 Maret 1946, satu rupiah Jepang disamakan dengan tiga sen gulden yang saat itu dinyatakan sebagai pengganti uang Jepang di daerah pendudukan mereka. Kemudian tahun 1946 tepatnya tanggal 7 Maret mulailah babak pertama dari rupiah, yakni rupiah didevaluasi menjadi 1 dollar AS sama dengan Rp 2,65 atau sebesar hampir 30% dari nilai sebelumnya. Namun nilai tukar rupiah di pasaran di awal tahun 1948 justru sudah naik menjadi Rp 19,50 per dollar AS.

Karena kondisi ekonomi yang tidak stabil akibat perang maka pada bulan September tahun 1949, rupiah terpaksa didevaluasi kembali. Yakni satu dollar AS menjadi Rp 3,80. Pada awal tahun 1952, rupiah kembali terdepresiasi cukup tinggi yaitu sebesar 67%, dari satu dollar AS sama dengan Rp 3,8, menjadi satu dollar AS sama dengan Rp 11,4.

Akhirnya di tahun 1955, rupiah terus merosot karena kondisi ekonomi yang tidak stabil. Kala itu rupiah kita langsung menembus Rp 48 per satu dollar AS.

Meski sudah ada devaluasi, pada tahun 1959, pemerintah kembali mengambil kebijakan penyusutan nilai uang. Jadi uang kertas Rp 1.000 dan Rp 500 nilainya disusut 10% termasuk simpanan di bank yang nilainya lebih dari Rp 25.000 dibekukan. Penurunan nilai ini terus berlangsung hingga era tahun 60-an.

Bulan November 1965 pasca G 30 S PKI, nilai rupiah menjadi satu dollar AS sama dengan Rp 28.000 dan di bulan Desember 1965 menembus Rp 35.000 per satu dollar AS. Cerita inilah yang kemudian mengakibatkan jatuhnya rezim Soekarno. Ketidakstabilan rupiah inilah yang kemudian pada tanggal 13 Desember 1965, pemerintah melakukan revaluasi. Nilai Rp 1.000 uang lama wajib ditukarkan dengan uang baru senilai Rp 1.

Kebijakan harus padu

Di era 1970-an, Indonesia mulai bangkit dari keterpurukan masa orde lama era 60-an dan saat itu rupiah merupakan sumber kekuasaan dan episentrum perekonomian. Semua orang mulai mendewakan rupiah. Pada era Suharto tersebut, perekonomian mulai membaik dengan Soehartonomic nya. Kendati demikian nilai rupiah pun sempat beberapa kali didevaluasi. Alasan klasiknya adalah untuk meningkatkan ekspor, padahal hakekatnya martabat rupiah tidak kunjung meningkat. Puncaknya di tahun 1998, nilai tukar rupiah merosot jauh, yang menandai babak baru berupa krisis ekonomi terjadi.

Perbaikan ekonomi di era Habibie dengan Habibienomic pun tidak banyak berhasil memulihkan secara signifikan nilai Rupiah. Dilanjutkan, era Gus Dur dan Megawati masih juga belum dapat memperkecil pelemahan nilai rupiah tersebut. Berlanjut pada masa era SBY dan Jokowi saat ini masih begitu sulit meningkatkan nilai rupiah terhadap dollar AS. Kalaupun bisa itupun hanya dapat menstabilkan fluktuasinya saja, dan sudah terlanjur pada posisi empat digit terhadap dollar AS.

Pengalaman masa lalu tersebut menjadi catatan penting bagi kita, dimana nilai rupiah yang nilainya pada awalnya adalah satu digit terhadap dollar AS, namun kemudian perlahan dan pasti merambat hingga empat digit sekarang, yang tentu sejalan dengan stabilitas dan instabilitas ekonomi nasional.

Era pasca reformasi ini, siapapun pemimpinnya akan mempunyai pekerjaan rumah besar untuk menstabilisasi nilai tukar rupiah. Terjadinya pelemahan beberapa pekan ini tentu saja mendorong keterpaduan kebijakan baik kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia (BI) dan kebijakan fiskal. Jangan sampai kebijakan moneter yang dijalankan BI terkait suku bunga misalnya menjadi kontra produktif ketika kemudian kebijakan fiskal diberlakukan.

Bila kebijakan moneter menerapkan kebijakan yang ketat, misalnya menaikan suku bunga untuk mengurangi capital outflow, maka disisi lain kredit investasi tetap harus mengucur. Demikian juga pemerintah harus tetap mendorong ekspor agar neraca perdagangan tetap surplus dan cadangan devisa dapat mampu mengendalikan pasar. Walaupun banyak yang menganggap pelemahan nilai rupiah saat ini lebih dikarenakan faktor eksternal, namun tetap saja fundamental ekonomi domestik harus terjaga.

Terakhir, intinya adalah bisa meyakinkan masyarakat serta memberi kepastian kepada rakyat atas kestabilan mata uang rupiah. Mempertahankan nilai rupiah inilah yang merupakan tugas berat, bukan saja BI sebagai otoritas moneter tetapi pemerintah juga bertanggungjawab atas kestabilan ekonomi pada umumnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi