Bersandar pada ekonomi Timah



PANGKAL PINANG. Timah adalah Bangka. Atau tepatnya Vanka, bahasa Sansekerta untuk kata tinstone yakni mineral utama di bijih timah. Seperti namanya, ekonomi Bangka sampai saat ini selalu menjadi ekonomi timah.

Ekonomi provinsi muda tersebut bergelimang rezeki timah. Yang tak disadari bersama, rezeki itu datang pula kutukan ketergantungan pada timah. Pada Januari-Oktober 2011, 75% pendapatan ekspor Babel berasal dari timah.

Tak heran, begitu harga timah anjlok, ekonomi juga terpukul. Contoh yang paling terlihat adalah penjualan sepeda motor. “Penjualan motor di Babel pada September masih 11.000 unit, tapi di November hanya 5.000 unit,” kata M. Reza Jayadi, Marketing Manager CV Sumber Jadi yang merupakan main diler Yamaha. Sebagai pemimpin pangsa pasar motor di Babel, Yamaha hanya bisa menjual 2.500 motor di November, turun drastis dari penjualan Agustus yang sebesar 7.900 unit.


Berdasarkan catatan sejarah, kekayaan timah Babel sudah mulai dimanfaatkan di abad ke-17. Dari masa itu, selama ratusan tahun ke depan, timah menjadi komoditas di bawah kontrol penguasa, baik pemerintah Belanda, Inggris, dan Jepang, maupun monopoli Pemerintah Indonesia melalui perusahaan timah negara.

Baru setelah reformasi, situasi berubah. Melalui SK Menperindag No 146/MPP/Kep/4/1999 tanggal 22 April 1999, status timah sebagai komoditas strategis dicabut sehingga timah menjadi barang bebas. Ini juga mengakhiri monopoli PT Timah Tbk.

Era otonomi daerah ikut memicu maraknya penambangan timah rakyat alias tambang inkonvensional (TI). Pemerintah daerah menjadi juru kunci penerbitan izin usaha pertambangan dan kawasan pertambangan di provinsi baru itu.

Smelter alias perusahaan peleburan bijih timah swasta bermunculan. Begitu juga profesi-profesi baru terkait timah, dari kolektor atau pengepul timah, penambang upahan, hingga TI apung. Dalam rantai ekonomi timah, para cukong kolektor berperan membeli timah basah dari para TI, legal maupun ilegal, lalu menjualnya kepada smelter. Para smelter lalu melebur nya hingga menjadi batangan alias ingot untuk ekspor.

Ironisnya, kilau rezeki timah membujuk banyak orang beralih profesi. Pada akhirnya, sektor perkebunan atau perikanan yang pernah menjadi andalan pulau ini terpinggirkan. Jikalau lada dan karet di Bumi Serumpun Sebalai dahulu menjadi primadona, kini produksi keduanya merosot. “Kebun lada kini menjadi kebun timah,” kata peneliti LIPI, Erwiza Erman.

Dari sisi lain, tak bisa dipungkiri akses pada timah memperbaiki ekonomi. Angka kemiskinan turun drastis, dari 11,2% di tahun 2002, menjadi 5,75% di tahun 2011. “Angka kemiskinan Babel menduduki posisi lima terbawah nasional,” kata Kepala Badan Pusat Statistik Babel, Teguh Pramono, Rabu pekan lalu. Produk domestik regional brutto (PDRB) per kapita menanjak. Pada tahun 2006 nilainya baru Rp 14,67 juta, namun di akhir 2010 sudah Rp 21,01 juta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: