Bersiap Menadah Potensi Pajak dari Perusahaan Multinasional



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Kesepakatan pajak Internasional yang terdiri dari dua pilar mengacu pada OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting Project tentang Addressing the Tax Challenges Arising From The Digitalisation of The Economy, menjadi topik pembahasan dalam pertemuan G20 pekan lalu.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Reaseacrh Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan, dengan adanya kesepakatan dua pilar perpajakan internasional tersebut diharapkan penerimaan pajak penghasilan (PPh) di Indonesia yang berasal dari transaksi ekonomi digital lintas negara tetap terjaga.

Ia menjelaskan, pilar perpajakan pertama yang disebut sebagai unfied approach, ada usulan terkait dengan hak pemajakan dan basis pajak untuk transaksi yang berkaitan dengan ekonomi digital. Selama ini, berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) alias tax treaty yang ditandatangani secara bilateral, hak pemajakan ada di negara sumber penghasilan berdasarkan konsep physical presence (kehadiran fisik).


“Dengan kata lain, perusahaan multinasional (MNC) akan kena pajak di Indonesia jika mereka memiliki kehadiran fisik. Bentuknya bisa berupa kantor cabang, kantor perwakilan, areal pertambangan, atau proyek konstruksi,” ujar Prianto kepada Kontan.co.id, Kamis (24/2).

Baca Juga: Indonesia Bersiap Bidik Pajak Digital dan Korporasi Multinasional

Prianto menambahkan, kondisi kehadirian fisik tersebut tidak akan bisa diberlakukan ketika transaksinya sudah mencakup ekonomi digital. Perusahaan multinasional di luar negeri tidak perlu hadir secara fisik untuk mendapatkan penghasilan dari negara sumber, misalnya Indonesia. Mereka bertransaksi secara digital menggunakan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi (ICT).

“Pilar pertama ini bersifat wajib dan isinya mengusulkan agar hak pemajakan bagi negara tempat perusahaan multinasional berkedudukan setidaknya sebesar € 1 juta,” kata Prianto.

Negara dengan produk domestik bruto (PDB) kurang dari € 40 miliar akan memperoleh hak pemajakan minimal € 250.000 jika perusahaan multinasional berkedudukan di negara tersebut. Selanjutnya, 20% hingga 30% dari residual profit (semua laba di atas 10% dari penghasilan akan diberikan kepada negara sumber penghasilan dengan suatu formula pengalokasian).

Sementara mengenai pilar perpajakan kedua, Prianto menilai, bersifat comman approach (tidak wajib) dan berkaitan dengan upaya untuk mengurangi persaingan pajak antar negara dengan cara menetapkan tarif pajak efektif PPh badan minimum.

“Penetapan tersebut dilakukan secara global untuk melindungi basis pemajakan di berbagai negara. Usulan di pilar kedua ini berlaku untuk semua perusahaan multinasional dengan batasan peredaran buto konsolidasian € 750 juta,” imbuhnya.

Ia menjelaskan, kebijakan di pilar kedua adalah Global Anti-Base Erosion Rules (GloBE), dimana secara sederhana GloBE diterapkan dengan menerapkan tarif efektif pajak minimun sebesar 15% yang dilihat dari negara tempat perusahaan multinasional berdomisili.

Selain itu, kebijakan lainnya di pilar kedua ini adalah Subject to Tax rule (STTR). Negara tempat penghasilan bersumber melalui STTR dapat memberlakukan tarif pemotongan PPh secara penuh tanpa ada pengurangan tarif sesuai P3B jika penerima penghasilan yang berada di negara lain tidak menyetor pajak di negara domisili.

Baca Juga: Pilar Satu Perpajakan Internasional Akan Menyasar Semua Perusahaan Multinasional

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat