BATANG. Kondisi perkebunan teh miliki rakyat di Indonesia sangat memprihatinkan. Endang Sopari, Ketua Asosiasi Petani Teh Indonesia (Aptehindo) mengatakan, setiap tahun, lahan perkebunan rakyat berkurang 3.000 hektare karena alih fungsi menjadi vila dan bangunan fisik lainnya. Tahun lalu, luas perkebunan rakyat secara nasional masih sekitar 60.000 ha. Namun, sekarang jumlahnya hanya 57.000 ha. "Banyak yang berubah menjadi vila," ujar Endang kepada KONTAN, di Batang Jateng, Kamis (31/3).Kondisi ini patut disayangkan mengingat lahan teh rakyat merupakan yang terbesar dibandingkan dengan perkebunan pemerintah dan swasta. Dari total luas lahan teh secara nasional yang sekitar 120.000 ha, sekitar 60%-nya adalah lahan rakyat. Sementara itu, sebanyak 25% merupakan lahan pemerintah, dan sisanya swasta.Praktek alih fungsi ini paling banyak terjadi di Jawa Barat (Jabar). Dua daerah lain yang juga sentra teh rakyat yaitu Jawa Tengah (Jateng) dan Sumatera Barat (Sumbar) juga ada alih fungsi tapi jumlahnya belum siginfikan. Parahnya, selama ini Jabar memiliki lahan rakyat terbesar yaitu sekitar 40.000 atau 70% dari total lahan perkebunan rakyat nasional. Masalahnya, alih fungsi lahan di Jabar sangat massif terutama di Kawasan Puncak Bogor, Cianjur dan Bandung Barat. "Lihat saja di sana banyak villa dibangun di perkebunan teh," keluh Endang.Ada dua faktor penyebab alih fungsi ini. Pertama, masalah modal. Petani biasanya memiliki luas lahan yang sedikit yaitu 0,5-3 ha saja. Ini diperparah dengan produktivitasnya yang hanya 800 kg/ha/tahun. Padahal, idealnya bisa mencapai 2 ton/ha/tahun. Kondisi ini membuat petani tidak mendapatkan keuntungan memadai dari menanam teh.Di sisi lain petani kesulitan mendapat pinjaman baik untuk ekspansi lahan maupun intensifikasi produksi. Perbankan menerapkan persyaratan yang sulit dipenuhi oleh petani seperti keharusan adanya agunan. Ini jelas berat mengingat aset yang dimiliki petani tidak banyak. "Kami hampir pasti mustahil mendapat pinjaman dari bank," jelas Endang.Masalah kedua adalah harga yang minim. Endang bilang, harga teh kering di tingkat petani hanya sekitar Rp 1.500-Rp1.700/kg. Di Jateng bahkan harganya hanya Rp 1.250/kg. Pada saat panen raya, yaitu bulan November-Januari, harganya bisa turun jadi Rp 800/kg. Akibatnya, petani merasa tidak mendapat keuntungan setimpal dari menanam teh. "Ketika ada yang menawar lahannya dengan harga lumayan, mereka lepas," jelas Endang.Endang berharap ada terobosan dari pemerintah untuk mengatasi ini. Petani berharap pemerintah bisa melobi perbankan agar memperlunak persyaratan pemberian pinjaman. Kalau memungkinkan, petani meminta adanya pinjaman lunak dengan bunga sekitar 6 % saja. Petani juga meminta pemerintah membereskan tata niaga industri teh, agar harga teh petani bisa meningkat.Tegoeh WHR, Kepala Dinas Perkebunan Jateng, membantah adanya praktek alih fungsi perkebunan teh. Di Jateng, luas lahan teh rakyat justru bertambah 1.000 ha per tahun. Tahun 2009, luas perkebunan teh di Jateng sekitar 29.000 ha. Tahun lalu jumlahnya bertambah menjadi 30.000 ha. Dari jumlah itu, luas lahan rakyat sekitar 60%nya.Masalah perkebunan rakyat justru bukan alih fungsi lahan tapi produktifitasnya yang rendah. Idealnya, 1 ha lahan bisa memproduksi 2 ton/tahun. Tapi, perkebunan rakyat hanya sekitar 800kg/ha/tahun. "Ini yang akan kami perbaiki agar produksinya lebih banyak dan petani bisa lebih sejahtera," ujar Tegoeh selepas acara Launching Sertifikasi Teh Lestari di Pabrik PT. Pagilaran, Kab. Batang.Informasi saja, Jateng biasanya memproduksi 3 jenis teh yaitu teh hitam, teh hijau dan teh manis. Ketiga teh ini sudah menjadi komoditas ekspor ke Amerika Serikat (AS), Timur Tengah, dan Jepang.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berubah fungsi, 3.000 hektare lahan teh rakyat berkurang tiap tahunnya
BATANG. Kondisi perkebunan teh miliki rakyat di Indonesia sangat memprihatinkan. Endang Sopari, Ketua Asosiasi Petani Teh Indonesia (Aptehindo) mengatakan, setiap tahun, lahan perkebunan rakyat berkurang 3.000 hektare karena alih fungsi menjadi vila dan bangunan fisik lainnya. Tahun lalu, luas perkebunan rakyat secara nasional masih sekitar 60.000 ha. Namun, sekarang jumlahnya hanya 57.000 ha. "Banyak yang berubah menjadi vila," ujar Endang kepada KONTAN, di Batang Jateng, Kamis (31/3).Kondisi ini patut disayangkan mengingat lahan teh rakyat merupakan yang terbesar dibandingkan dengan perkebunan pemerintah dan swasta. Dari total luas lahan teh secara nasional yang sekitar 120.000 ha, sekitar 60%-nya adalah lahan rakyat. Sementara itu, sebanyak 25% merupakan lahan pemerintah, dan sisanya swasta.Praktek alih fungsi ini paling banyak terjadi di Jawa Barat (Jabar). Dua daerah lain yang juga sentra teh rakyat yaitu Jawa Tengah (Jateng) dan Sumatera Barat (Sumbar) juga ada alih fungsi tapi jumlahnya belum siginfikan. Parahnya, selama ini Jabar memiliki lahan rakyat terbesar yaitu sekitar 40.000 atau 70% dari total lahan perkebunan rakyat nasional. Masalahnya, alih fungsi lahan di Jabar sangat massif terutama di Kawasan Puncak Bogor, Cianjur dan Bandung Barat. "Lihat saja di sana banyak villa dibangun di perkebunan teh," keluh Endang.Ada dua faktor penyebab alih fungsi ini. Pertama, masalah modal. Petani biasanya memiliki luas lahan yang sedikit yaitu 0,5-3 ha saja. Ini diperparah dengan produktivitasnya yang hanya 800 kg/ha/tahun. Padahal, idealnya bisa mencapai 2 ton/ha/tahun. Kondisi ini membuat petani tidak mendapatkan keuntungan memadai dari menanam teh.Di sisi lain petani kesulitan mendapat pinjaman baik untuk ekspansi lahan maupun intensifikasi produksi. Perbankan menerapkan persyaratan yang sulit dipenuhi oleh petani seperti keharusan adanya agunan. Ini jelas berat mengingat aset yang dimiliki petani tidak banyak. "Kami hampir pasti mustahil mendapat pinjaman dari bank," jelas Endang.Masalah kedua adalah harga yang minim. Endang bilang, harga teh kering di tingkat petani hanya sekitar Rp 1.500-Rp1.700/kg. Di Jateng bahkan harganya hanya Rp 1.250/kg. Pada saat panen raya, yaitu bulan November-Januari, harganya bisa turun jadi Rp 800/kg. Akibatnya, petani merasa tidak mendapat keuntungan setimpal dari menanam teh. "Ketika ada yang menawar lahannya dengan harga lumayan, mereka lepas," jelas Endang.Endang berharap ada terobosan dari pemerintah untuk mengatasi ini. Petani berharap pemerintah bisa melobi perbankan agar memperlunak persyaratan pemberian pinjaman. Kalau memungkinkan, petani meminta adanya pinjaman lunak dengan bunga sekitar 6 % saja. Petani juga meminta pemerintah membereskan tata niaga industri teh, agar harga teh petani bisa meningkat.Tegoeh WHR, Kepala Dinas Perkebunan Jateng, membantah adanya praktek alih fungsi perkebunan teh. Di Jateng, luas lahan teh rakyat justru bertambah 1.000 ha per tahun. Tahun 2009, luas perkebunan teh di Jateng sekitar 29.000 ha. Tahun lalu jumlahnya bertambah menjadi 30.000 ha. Dari jumlah itu, luas lahan rakyat sekitar 60%nya.Masalah perkebunan rakyat justru bukan alih fungsi lahan tapi produktifitasnya yang rendah. Idealnya, 1 ha lahan bisa memproduksi 2 ton/tahun. Tapi, perkebunan rakyat hanya sekitar 800kg/ha/tahun. "Ini yang akan kami perbaiki agar produksinya lebih banyak dan petani bisa lebih sejahtera," ujar Tegoeh selepas acara Launching Sertifikasi Teh Lestari di Pabrik PT. Pagilaran, Kab. Batang.Informasi saja, Jateng biasanya memproduksi 3 jenis teh yaitu teh hitam, teh hijau dan teh manis. Ketiga teh ini sudah menjadi komoditas ekspor ke Amerika Serikat (AS), Timur Tengah, dan Jepang.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News