KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Permintaan pakaian jadi atau garmen yang meningkat di awal tahun ternyata tak diiringi oleh sektor hulunya. Pasalnya impor bahan baku kain justru melonjak. Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian, Achmad Sigit Dwiwahjono menjelaskan, industri garmen sejatinya menopang pertumbuhan industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Hanya saja di sektor tekstil hulu masih negatif karena banyaknya impor kain. “Periode kuartal I-2019 industri tekstil hulu turun 1%. Padahal kuartal IV-2018 pertumbuhannya 6%,” kata Sigit, Jumat akhir pekan lalu. Sigit menduga importir memanfaatkan fasilitas Pusat Logistik Berikat (PLB). Padahal ihwal adanya PLB tersebut agar pelaku industri kecil dan menengah (IKM) dapat terjamin bahan bakunya. Tetapi justru dimanfaatkan oleh oknum importir besar. “Kami mau berdiskusi dengan Bea Cukai dan selidiki apakah benar yang impor itu pelaku IKM atau bukan,” jelasnya.
Impor yang tinggi ini menyebabkan produksi kain dalam negeri menjadi turun. Penyebabnya, persaingan menimbulkan kompetisi dengan produk impor. Redma Gita Wirawasta, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menjelaskan, informasi mengenai impor yang masuk dari PLB tersebut benar. Menurutnya sudah ada kabar bahwa tiap hari ada 40 kontainer yang masuk melalui PLB di Bandung, Jawa Barat. Redma menambahkan, sudah dari kuartal IV-2018 kontainer berisi kain jadi yang 90% dari Tiongkok tersebut masuk ke Indonesia. Hanya saja mulai tahun ini tak hanya kain jadi tapi juga produk garmen. “Akibatnya bila ini berkelanjutan, pelaku industri tenun, kain, benang dan juga garmen yang kecil tidak berani untuk produksi karena takut tak terserap di pasar,” kata Redma kepada Kontan.co.id, Minggu (12/5). Menurut Redma, Presiden Joko Widodo selalu mengeluh defisit neraca perdagangan. Oleh karena itu dirinya memohon agar dapat turun tangan langsung menuntaskan masalah tersebut. Pasalnya, kebijakan PLB tersebut menunjukkan ketidaksinkronan antar Kementerian. “Kementerian Keuangan melarang impor borongan, tetapi Kementerian Perdagangan ada aturan impor lewat PLB,” jelas Redma. Meski demikian, pendapat berbeda diutarakan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). Ernovian G. Ismy, Sekretaris Jenderal API menjelaskan, impor meningkat karena antar sektor hulu, antara dan hilir di industri TPT Indonesia jalan masing-masing sehingga tidak harmonis. “Ini sudah berjalan sekitar 10 tahun dan sekarang ini akibatnya,” kata Ernovian kepada Kontan.co.id, Minggu (12/5). Menurut Ernovian, PLB selalu jadi kambing hitam masalah impor. Padahal gudang PLB khususnya kapas sudah berjalan baik. “Kita bisa pindahin produsen yang selama ini kapasnya ditaruh di luar negeri sekarang di Indonesia. Walaupun baru sekitar 15%-20%,” tambahnya. Ernovian menambahkan sejatinya impor kain jadi meningkat berasal dari kebutuhan konsumen yang meningkat. Sehingga produsen pakaian jadi dalam negeri wajib memenuhi. "Bila tidak akan diambil oleh kompetitor dari negara lain," tambahnya. Kedua, produsen kain jadi di dalam negeri tidak bisa memenuhi kebutuhan produsen pakaian jadi. Ketiga, produsen kain jadi, industrinya memang kurang, dan yang ada untuk berproduksi pun takut dengan peraturan lingkungan hidup terkait pengelolaan limbah cairnya.
Untuk itu, saat ini Kementerian Perindustrian dan API mengajukan program pengadaan mesin
dyeing-priting-finishing untuk produsen kain jadi. “Ini perlu investor dan semuanya untuk memenuhi kebutuhan kain jadi di dalam negeri,” kata Ernovian. Selain itu masalah limbah cair penting untuk diawasi tetapi perlu juga dilihat dari sisi bisnisnya. Dalam hal ini pemerintah tidak boleh ambil keputusan dengan mematikan industri kain jadi. Solusi utama lain yakni bahan baku benang dasar yakni
polyester perlu dibenahi. Saat ini ada biaya tambahan yaitu Bea Masuk Anti Dumping atas Impor
polyester staple fiber (PSF). “Akibatnya harga kain jadi di dalam negeri mahal, karena dari bahan baku ujungnya sudah mahal harganya,” pungkas dia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati