KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah berbagai isu pandemik Covid-19, tiba-tiba World Bank menaikkan peringkat Indonesia jadi negara dalam kategori upper middle income country. Apakah ini kabar baik atau buruk untuk Indonesia? Berikut ini wawancara Kontan dengan David Sutyanto Head of Research Ekuator Swarna Sekuritas, beberapa waktu yang lalu untuk membicarakan berbagai isu s=terbaru di pasar finansial Apakah Anda melihat kenaikan peringkat dari World Bank itu kabar baik atau buruk?
Angka GDP Indonesia memang naik, meskipun harus diperhatikan juga gini ratio Indonesia masih tinggi. Artinya ketimpangan masih sangat lebar, orang yang kaya kaya banget, yang miskin miskin sekali. Hal ini bisa dilihat dari beberapa sudut pandang. Kenaikan ini bisa menjadi apresiasi terhadap apa yang sudah dilakukan pemerintah selama ini sehingga kesejahteraan meningkat. Harus kita akui, kesejahteraan di Indonesia meningkat kalau dibandingkan dengan 10-20 tahun lalu. Tapi kita juga harus hati-hati dengan “jebakan” lembaga asing, karena lembaga asing sebelum adanya krisis kadang suka memberikan apresiasi luar biasa. Contohnya adalah yang bikin saya sedikit skeptis adalah IMF bilang pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih cepat pasca Covid, tapi kalau kita lihat angka PMI (Manufacturing Purchasing Manager Index) sebenarnya kita ketinggalan dengan negara tetangga. Kita baru pulih kemarin 39 itu baru Bulan Juni yang lain itu Mei saja sudah 40 dan 50-an. Jadi kita agak ketinggalan sebulan. Lalu kemudian sekarang negara-negara tetangga kita kan sudah berhasil melandaikan kurva Covid-19. Kita kan belum mau landai, kita masih naik terus, kan lucu jadinya. Karena pernah kejadian juga di 1998, waktu itu kan kita dikatakan di 1996 akan take off segala macam, landasan GBHN kita kuat dan sebagainya, tahu-tahu kita ambruk. Kalau lihat kenyataannya sekarang kondisi di Indonesia yang dipuji-puji banyak pihak dikatakan akan paling cepat pulih. Ini kan kita kurvanya belum sampai puncak kok, mau pulih bagaimana perekonomiannya. Ini indikatornya bisa dilihat dari jumlah orang yang dites ya? Kita di bawah Zimbabwe per 1.000 penduduk, jumlah orang yang dites-nya. Kita di bawah Zimbabwe jauh tertinggal di bawah negara-negara tetangga Asia Tenggara sekitar kita. Dengan Malaysia saja kita jauh. Saya bilang kondisi ekonomi bagi kita yang berpikiran objektif sekarang ini adalah kondisi ekonomi yang menarik. Kenapa? Ada terjadi banyak sekali anomali terjadi di pasar. Anomali-anomali inilah yang sebenarnya menarik untuk dilihat. Apakah nanti yang menang adalah optimismenya, Indonesia sangat kuat sangat resilient atau optimismenya itu mengaburkan pandangan kita. Ada 2 hal yang nanti bisa kejadian, optimismenya yang menang atau optimismenya yang kalah. Kalau kita data secara
real, Indonesia kan covid-nya belum ada apa-apanya, jauh dari kata selesai. Pemerintah sudah melonggarkan PSBB data hariannya kan naik terus. Dan itu juga jumlah tesnya belum maksimal dan itu
delay-nya juga cukup jauh. WHO menyoroti hal ini di laporannya ke Indonesia, data yang diumumkan hari ini, itu positifnya mungkin 5 hari lalu. Karena hasil tes kan butuh waktu 2 hari, pengumpulan laporan segala macam. Jadi kalau dikatakan 1.500 yang kena itu data 5 hari yang lalu sebenarnya. Orang bilang 2 krisis kemarin kan berhasil survive karena UMKM.
Resilient-nya UMKM kan. Sekarang kalau lihat UMKM berat. Kondisinya sangat berbeda untuk mereka karena tidak bisa ada interaksi sosial. Sementara UMKM itu sangat butuh sekali interaksi. Begitu ada interaksi, ekonomi mereka hidup, tidak ada interaksi ekonomi mereka mati. Tidak bisa dibantu dengan subsidi atau stimulus-stimulus dari pemerintah? Nah ini juga jadi satu masalah. Kalau misalnya dengar, bank dunia juga bilang ini stimulus-stimulus yang dilakukan secara besar-besara bisa berpotensi gagal. Saya sih percaya dengan ahli ekonomi seperti Joseph Stiglitz yang bilang stimulus itu bukan masalah number tapi masalah efektivitasnya. Angkanya boleh kecil, tapi yang penting efektif. Daripada angka besar tapi tidak efektif. Cuma sekarang kan tren dari para pemimpin dunia adalah si anu berani kasih stimulus 20% dari GDP masa saya cuma 10%. Jadi berlomba-lomba
the bigger number, must be better. Ditambah lagi ada aspek politik di dalam suatu negara kan, seperti Donald Trump unsur politik kencang sekali di situ. Mau enggak mau dia harus bikin bagus, karena dia mau naik lagi kan. Tapi ini menarik sebenarnya pertanyaan mengenai kenapa Indonesia bisa naik menjadi negara
middle income. Karena di satu sisi, memang ekonomi kita bertumbuh, kita akui pertumbuhan kita cukup
massive 5%-an dalam setahun. Kecuali tahun ini karena Covid ya. Ya ini menjadi salah satu pertumbuhan yang tertinggi di dunia dan cukup bagus ekonomi Indonesia. Di sisi lain, jangan jumawa predikat tersebut. Jangan jumawa dengan prediksi asing kita akan pulih lebih cepat dan sebagainya. Kita harus melihat datanya, puncak saja belum kok. Malaysia sudah bisa ngomong banyak karena mereka sudah lewat di puncak. Singapura bisa ngomong banyak karena mereka sudah lewat puncak. Puncaknya sudah bisa diturunkan. Indonesia sebenarnya belum. Anomali yang tadi Anda katakan anomali apa saja ya? O banyak. Pertama mengenai capital market. Memang capital market itu bukan ekonomi, semua orang kalau ngomong begitu setuju. Tetapi dalam jangka panjang,
capital market itu adalah ekonomi. Kita sudah mulai membaik tapi apakah benar sudah mulai membaik? Ekspetasinya semua orang kan its
fine, covid sudah selesai. Tapi apakah benar sudah selesai, itu kan jadi sebuah anomali tersendiri. PSBB dibuka betul ekonomi bergerak tapi bukankah takutnya jadi kontra dengan aspek kesehatannya. Artinya Anda melihat optimisme yang terjadi di pasar modal sekarang ini terlalu cepat? Kalau dari alasan teknisnya sih di capital market didorong dengan adanya aksi pembelian. Aksi pembelian, kenapa bisa massif, karena ada stimulus. Teknisnya seperti itu kan, dengan adanya stimulus-stimulus jadi positif. Ada uang-uang baru yang beredar dan paling gampang saat ini masuk ke capital market. Jadi kalau Anda punya uang, pilihannya Anda mau kasih pinjam orang atau masuk capital market, mendingan masuk capital market. Anomali-anomali yang lain seperti apa? Anomali mengenai data lapangan pekerjaan. Di Amerika terutama ya, karena Amerika kan ada 2 data yaitu data pengangguran dan
jobless claim-nya. Kemarin sepanjang sejarah, angkanya itu bisa
crossing, di mana angka orang yang mengajukan klaim pengangguran lebih tinggi daripada tingkat pengangguran yang pemerintah akui. Nah sekarang tingkat penganggurannya turun cukup drastis, sebenarnya menjadi tanda tanya apakah ekonominya bisa pulih secepat itu. Lalu juga proyeksi-proyeksi dari IMF. Di tahun 2008 waktu krisis, itu IMF itu begitu
rebound itu kita tidak bisa setinggi dari sebelum krisis, pertumbuhan ekonomi ya. Pertumbuhan ekonomi setelah krisis tidak bisa setinggi sebelum krisis karena waktu sebelum krisis kan ekonomi bergerak optimal. Pada faktanya, di krisis yang kali ini kan kita sudah turun. Sebelum ada covid ini kan ekonomi sedang berat kan, ada perang dagang dan teman-temannya. Tapi di proyeksinya IMF dan teman-teman, itu di tahun 2021 pertumbuhan ekonomi itu luar biasa dahsyatnya. Maha dahsyat, diramalkan melampaui sebelum covid. Nah itu juga anomali, karena biasanya pemulihan pasca krisis itu tidak bisa langsung pulih secara cepat. Contohnya Indonesia setelah krisis kan tidak pulih langsung secara cepat kan. Lebih tepatnya sekarang logo swoosh, seperti logo Nike. Pemulihannya perlahan-lahan, seharusnya seperti itu. Jadi ini memang perang optimisme dan pesimisme? Saya lebih suka menyebut perang optimisme dan yang terjadi di lapangan, karena kalau disebut pesimisme itu enggak bagus sebenarnya untuk ekonomi. Tapi optimisme yang berlebihan itu bisa mengaburkan decision making kita. Jadi kalau ditanyakan apakah saya pesimis dengan kondisi ekonomi sekarang? Tidak, tapi kenyataannya yang ada sekarang tidak seindah itu. Karena kondisi sekarang ini agak berbeda dengan kondisi-kondisi yang ada sekarang ya. Sektor real nya benar-benar terhantam, UMKM-nya juga benar-benar terhantam keras. Untuk isu rencana pencetakan uang baru pemerintah dengan sharing burden dengan BI, bagaimana pasar melihatnya? Ini yang menarik. Pemerintah di dalam krisis membutuhkan dana. Nah untuk dapat dana itu hanya ada 2 opsi, yang pertama cetak utang yang kedua cetak uang. Ini 2 opsi utama. Beda antara cetak utang dan cetak uang, adalah kalau cetak utang pemerintah cetak utang lalu dijual. Begitu dijual, pembelinya itu dapat bunga dari pemerintah. Nah kalau cetak uang metodenya bagaimana? Kalau cetak uang, metodenya pemerintah menerbitkan surat utang juga, tapi bunganya nol. Ini agak sedikit masalah kalau nanti setelah selesai krisis. Utang itu kan biasa agak jangka panjang, katakan 5-10 tahun. Begitu selesai krisis, katakan 1-2 tahun ke depan krisisnya selesai, BI kan ingin intervensi pasar dengan cara menyerap kembali uangnya. Nah kalau cetak uang itu dia susah melakukannya karena surat utangnya enggak laku dijual, siapa yang mau beli surat utang dengan bunga 0? Ini surat utangnya pemerintah terbitkan, BI beli, bunganya 0. Sebenarnya ada regulasi Bank Indonesia itu tidak bisa langsung membeli di pasar primer, harus beli di pasar sekunder. Tapi dengan Perpu No 1, BI sudah boleh beli di pasar primer, kalau kondisi normal BI tidak boleh beli di pasar primer, takutnya ketagihan nanti cetak utang terus, nanti cetak uang terus, uang mengucur terus dari BI. Nah sharing burden itu berarti bunganya itu BI tanggung kan. Jadi dia cetaknya utang, bukan uang berarti kan ada bunganya, bunganya ini BI yang tanggung 53,9%. Kenapa bukan menerbitkan surat utang yang 0%? Sulitnya nanti siapa yang mau beli surat utang dengan bunga 0. Kalau ada bunga 5%, mau beli enggak surat utangnya? Masih mau kan karena masih ada bunganya. Tapi kalau bunganya 0 mau enggak? Jadi sharing burden ini, nanti pemerintah terbitkan surat utang, BI beli. Begitu BI beli bunganya BI lagi yang bayar. Kalau cetak utang itu kan ada limit maksimal-nya, yaitu arus kas pemerintah yang bisa untuk bayar bunga minimal. Ada limit di situ. Kemampuan pemerintah untuk bayar bunga itu kan ada limit di situ. Kalau bunganya ditanggung ada limit enggak? Kan enggak ada. Tapi reaksi pasar negatif atau positif sangat tergantung dari size menurut saya. Memang kalau saat ini kan pemerintah agak engap nih kalau tiba-tiba berutang banyak bunganya. Jadi naik beban bunganya. Sama juga dengan cetak uang, kalau cetaknya dalam jumlah yang terkontrol, kemudian juga penyalurannya juga secara tepat, harusnya sih
not big issue. Tapi kalau penyalurannya tidak tepat dan jumlahnya massif, itu akan menjadi masalah. Ini kuncinya tepat sasaran bukan jumlahnya ya? Iya kuncinya semuanya tepat sasaran, bukan masalah jumlah. Kayak pemerintah kasih stimulus macam-macam, paling besar stimulus pajak itu tidak tepat sasaran. Sekarang ini usaha saja rugi bagaimana mau bayar pajak. Serapan anggaran juga kan rendah. Percuma Jokowi bilang puluhan triliun-puluhan triliun, dana yang ada di masyarakat cuma sedikit. Proyeksi pasar ke depan akan seperti apa? Saya melihatnya masih ada potensi tetapi, karena kita kan belum mencapai ke level sebelum krisis kan di level 6.000-an. Akan tetapi saya melihatnya secara real, selama pandemik belum selesai kemudian juga
way out belum ada, masih cukup rentan. Jadi kalau sekarang ini sudah ke level cukup wajar, karena juga penurunan kinerja emiten dan pemulihannya juga kayaknya enggak bakal cepat. Jadi pertumbuhan ekonomi tahun ini negatif, tahun depan bisa positif? Kalau tahun ini negatif, tahun depan positif. Ekonomi tidak terkompresi sedalam itu. Tapi apakah angkanya sebesar yang diperkirakan? Belum tentu kalau menurut saya. Kalau tahun ini negatif, tahun depan negatif, wah siap-siap lah kita bakalan susah semua jadinya. Tapi pemulihannya kayaknya terlalu optimistis skenarionya kalau menurut saya. Buktinya IMF terbitkan World Economic Outlook dari Bulan Maret, April sampai Juni, angkanya selalu jelek kok. Dan pertama kalinya Asia bisa negatif, selama krisis sebelumnya Asia tidak pernah negatif. Jadi berapa proyeksi untuk IHSG? Saya masih positif tapi saya tidak melihat marketnya secepat itu akan pulih. Optimisnya itu bisa balik normal lagi di 6.000, normalnya di kisaran 5.000, negatifnya di 4.000.
Swing-nya besar sekali. Untuk investor aset alokasinya sebaiknya seperti apa? Apa saham masih menarik? O saham masih menarik, cuma saya masih merekomendasikan
cash is the king. Kalau dengan vaksin, kita memang sudah tidak terlalu jauh, tapi setelah vaksin ditemukan juga kan tidak semudah itu. Vaksinnya katakan bisa di Amerika, belum tentu bisa di Asia, strain virus-nya juga kan beda-beda ada A, B, C dan sebagainya. Lalu kemudian untuk menyuntikkan vaksin itu ke 6 miliar penduduk dunia kan butuh waktu. Ya pe er-nya masih cukup panjang, meskipun saya juga pantau day to day perkembangan vaksin di rilis WHO. Sekarang kan sudah ada 17 strain yang sudah diuji. Yang sudah dekat Oxford punya, Astra Zeneca. Itu saya anggapnya cukup positif. Tapi yang punya Indonesia Kalbe punya, itu kan baru tahap 1 belum sampai tahap 3. Ada 3 tahap lalu yang terakhir uji dengan FDA seperti lembaga obat kalau kita Badan POM dan teman-temannya, baru bisa dirilis ke masyarakat. AstraZeneca sudah jalan step 3. Punya China yang lucu, punya China itu sudah step 2, dan dia lalu langsung uji tembak ke militer. Jadi tentara China ditembaki vaksin, jadi dia belum menjalankan step 3 karena mau mengejar ketertinggalan dari AstraZeneca. Isu mengenai pembubaran OJK atau pengalihan fungsi perbankan kembali ke BI, bagaimana Anda melihatnya? Ya itu masih simpang siur, mengenai pembubaran atau pengalihan dari bank. Itu masih cukup simpang siur, tapi kalau saya boleh bilang, ini sebenarnya akumulasi sih dari maraknya ketidakpuasan terhadap pengawasan di industri keuangan kita. Apalagi belakangan ini kan banyak masalah. Tapi menurut saya kalau pemerintah dengan adanya masalah ini harus diputuskan dengan cepat. Jadi jangan sampai menggantung, maksudnya kami sedang mempertimbangkan, itu menjadi ketidakpastian untuk pasar. Kalau mau langsung putuskan, oke kembali, oke tidak kembali, atau dibubarkan. Itu jelas semuanya. Jangan digantung-gantung apalagi lama, karena ini kan menjadi ketidakpastian. Market itu butuh yang pasti. Butuh cepat tapi kalau misalnya dipindahkan dan tidak siap kan juga masalah?
Pada waktu pembentukannya saja kan menimbulkan guncangan. Seharusnya diharapkan kalau dia pindah lagi ke asal tidak ada
impact yang terlalu besar. Yang penting pemerintah itu jangan diayun, kalau diayun itu enggak bagus. Kami sedang mempertimbangkan. Jelas dong, ya kami sedang disusun sedang ini, jelas. Tapi menurut saya di tempat-tempat lain yang model OJK ini akhirnya dikembalikan lagi ke asalnya kan. Tapi kalau di sini saya tidak mau berspekulasi-lah, apakah dibubarkan atau tidak, kita lihat saja. Kewenangannya ada di pemerintah. Yang penting diputuskan, mau mau jalan, jalan. Mau enggak jalan ya sudah enggak jalan. Jangan dibikin simpang siur.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Djumyati P.