BFI Finance ajukan diri jadi tergugat intervensi melawan Aryaputra



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT BFI Finance Indonesia Tbk (BFIN) menanggapi gugatan yang dilayangkan PT Aryaputra Teguharta ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta kepada Kementerian Hukum dan Ham.

Hal tersebut dilakukan BFI dengan mengajukan diri sebagai tergugat intervensi dalam perkara tersebut. 

Kuasa hukum BFI Anthony Hutapea dari kantor hukum Anthony L.P. Hutapea & partners mengatakan, langkah ini diambil BFI, lantaran BFI merupakan pihak yang berkepentingan terkait objek sengketa gugatan TUN tersebut.


"5 Juni 2018 kami sudah mengajukan permohonan intervensi, menjadi tergugat intervensi karena memiliki kepentingan atas objek sengketa. Dan 28 Juni 2018 nanti baru ada sidang," kata Anthony, Jumat (8/6).

Anthony menambahkan, pihak BFI akan tetap mendalilkan tak dapat dieksekusinya Putusan 240/PK/PDT/2006 yang kerap jadi alasan Aryaputra menagih kepemilikan saham miliknya di BFI.

Sehingga, kata Anthony saham-saham Aryaputra di BFI sejatinya telah tiada, sesuai dengan restrukturisasi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang dilakukan BFI akhir 2000 lalu.

"Mereka menggugat Kemkumham untuk membatalkan semua putusan termasuk corporate action BFI 2001-2017. Tapi, karena mereka sudah tak memiliki saham, jadi kita bisa pertanyakan legal standing mereka? Karena itu gugatannya juga menjadi tak jelas, kan?" jelas Anthony.

Sekadar informasi, 16 Mei 2018 Aryaputra menyeret Menkumham ke PTUN Jakarta. Gugatan diajukan kepada Menkumham (tergugat 1), dan Ditjen AHU (tegugat 2), dengan nomor perkara 120/G/2018/PTUN-JKT.

"Diajukannya gugatan tata usaha negara ini, merupakan bentuk uji tuntas (due process of law) dari pengadilan untuk memeriksa keputusan dan/atau persetujuan terkait transaksi pengalihan saham PTAPT yang ditenggarai dilakukan secara ilegal oleh PTBFI," kata kuasa hukum Aryaputra Pheo Hutabarat dari kantor hukum HHR Lawyer beberapa waktu lalu.

Pheo menambahkan ada tiga alasan mengapa Aryaputra melakukan gugatan tata usaha negara ini. Pertama, soal diberikannya persetujuan atas pengalihan saham miliknya oleh BFI yang dinilai Aryaputra ilegal.

Kedua, penolakan oleh Menteri Hukum dan HAM atas permohonan pembatalan pengalihan saham tersebut. Dan terakhir, tak tercantumnya Aryaputra sebagai pemegang saham yang sah dalam data profil perseroan pemegang saham di Ditjen AHU.

Sementara menanggapi alasan pengajuan gugatan ini, Anthony menjelaskan bahwa sejatinya pihak Kemkumham, maupun Ditjen AHU memang bersifat pasif.

"Mereka beranggapan ada kesalahan dari Kemkumham. Padahal Kemkumham sifatnya pasif, mereka hanya dapat laporan dari RUPS, RUPSLB yang diterima dari notaris," sambung Anthony.

Sekadar informasi, sengketa saham milik Aryaputra berawal ketika induk perusahaannya, PT Ongko Multicorpora mendapatkan fasilitas kredit dari BFI Finance. 111.804.732 saham Aryaputra, dan 98.388.180 saham milik Ongko jadi jaminan atas fasilitas tersebut.

Kesepakatan tersebut dilakukan pada 1 Juni 1999, dan akan berakhir pada 1 Desember 2000. Dalam salah satu klausul perjanjiannya, jika Ongko tak melunasi tagihannya, maka BFI berhak melego saham-saham tersebut.

Sayangnya hal itu benar terjadi pada 7 Desember 2000. Ketika BFI Finance terjerat proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). 210.192.912 total saham dibeli oleh Law Debenture Trust Corporation, perusahaan offshore trustee dari Inggris.

Hal tersebut yang kemudian ditolak Aryaputra, lantaran merasa pengalihan saham tersebut dilakukan tanpa persetujuan Aryaputra. Sayangnya, BFI berkata lain.

"Aryaputra bersama PT Ongko Multicorpora adalah pemegamg saham mayoritas kala itu, jadi tidak mungkin ada keputusan tanpa mereka," lanjut Anthony.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi