KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja saham di sektor multifinance mulai kehilangan tajinya. Beberapa emiten yang selama ini menjadi unggulan di sektor ini mulai terlempar dari beberapa indeks unggulan di pasar modal. Sebut saja, PT BFI Finance Indonesia Tbk (
BFIN) yang terdepak dari indeks LQ45 per 1 Februari 2023 ini. Adapun, LQ45 berisi beberapa saham yang dipilih berdasarkan pertimbangan likuiditas tertinggi dan kapitalisasi pasar terbesar dengan kriteria lain yang sudah ditentukan. Menanggapi hal tersebut, Direktur BFIN Sudjono tak banyak berkomentar terkait terdepaknya BFIN dari LQ45 sebab itu di luar kontrol perusahan. Menurutnya, masuk atau tidaknya BFIN dalam indeks LQ45 tak berpengaruh pada kinerja perusahaan.
“Jadi masuk LQ45 itu bonus. Target tahun ini tetap pertumbuhan double digit,” ujarnya. Tak hanya itu, PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk (
ADMF) juga harus rela keluar dari indeks IDX High Dividend 20 (HIDIV20). indeks ini mengukur kinerja harga dari 20 saham yang membagikan dividen tunai selama 3 tahun terakhir dan memiliki dividen yield yang tertinggi. Berdasarkan data dari investing, dividen yield ADMF ada di level 6,86% di 2022. Angka ini sedikit lebih tinggi dari 2021 di level 6,18%, namun turun jauh dari dividen yield di 2020 yang bisa mencapai 13,18%.
Baca Juga: Adira Finance Salurkan Pembiayaan Motor Listrik Rp 6,6 Miliar pada 2022 Pada penutupan perdagangan Rabu (1/2), harga saham BFIN naik 0,45% berada di level Rp 1.160 dan telah naik 9,95% sejak awal tahun. Sementara itu, harga saham ADMF tak berubah dari kemarin berada di level Rp 9.425 atau naik 4,72% sejak awal tahun. Research & Consulting Manager Infovesta Utama Nicodimus Kristiantoro melihat ada beberapa faktor yang saat ini membuat minat investor semakin berkurang pada emiten multifinance. Salah satunya tingkat likuiditas. “Sehingga investor kurang bisa mengoptimalkan cuan, serta minimnya katalis pendorong dominan,” ujar Nico kepada KONTAN, Rabu (1/2). Di sisi lain, ia melihat emiten multifinance justru dihadapkan pada tren suku bunga yang tinggi. Dimana, hal tersebut bisa berdampak pada menurunnya permintaan untuk jasa pembiayaan. Oleh karenanya, saat ini pihaknya belum merekomendasikan untuk emiten multifinance karena belum ada sentimen yang sanggup mendorong kenaikan saham secara industri pembiayaan. Namun, ia tetap melihat peluang kondisi berubah jika sektor riil misalnya sektor otomotif terus menunjukkan prospek cerah, disertai dengan kenaikan suku bunga yang berhenti ataupun ada kemungkinan turun. “Dari berbagai kondisi diatas, ADMF masih layak untuk dicermati karena valuasi yang tergolong masih murah, dan bisa dibilang punya pangsa pasar yang kuat di industri pembiayaan, serta fully support oleh induk usahanya,” imbuhnya.
Baca Juga: Pada Tahun 2022, Sejumlah Multifinance Catatkan Kenaikan Jumlah Penarikan Kendaraan Sementara itu, Senior Investment Informasi Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji menilai bahwa wajar untuk BFIN keluar dari LQ45 karena pergerakan sahamnya yang relatif sideways. Sehingga, kinerja kapitalisasi pasar yang tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Tak berbeda, Nafan juga melihat kewajaran ADMF keluar dari indeks HIDIV20. Alasannya, saham tersebut berada dalam posisi overbought sehingga banyak terjadi pula aksi profit taking oleh investor. “Untuk itu saham-saham mulitifinance ini memang not rated, mengingat likuiditas dan valuasi saham tersebut. Namun, investor tetap menantikan kinerja keuangan full year di 2022,” jelasnya.
Sedikit berbeda, Chief Executice Officer Edvisor.id Praska Putrantyo melihat saham-saham multifinance masih tetap layak dikoleksi. Mengingat, katalis penopang dari pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tetap ada meskipun ada ancaman perlambatan akibat kebijakan suku bunga yg ketat di tengah tingginya inflasi. Oleh karenanya, penyaluran kredit yang masih tinggi diperkirakan masih membantu pertumbuhan bisnis dari emiten-emiten di sektor multifinance, terutama jika berorientasi untuk jangka panjang. “Menurut saya, yang menarik adalah ADMF, BFIN, dan CFIN (Clipan Finance),” pungkasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi