KONTAN.CO.ID - Hari ini, 1 Juli 2019, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) memperingati Hari Bhayangkara yang ke-73. Peringatan pada hari ini merupakan hari penting dalam institusi kepolisian nasional sejak terbitnya Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1962 yang menyatukan kepolisian di daerah-daerah menjadi satu di bawah komando Kepala Negara. Namun, dari mana sebenarnya nama Bhayangkara berasal? Dilansir dari keterangan Divisi Humas Polri melalui akun
Facebook-nya, nama Bhayangkara adalah istilah yang digunakan Patih Gadjah Mada dari Majapahit untuk menamai pasukan keamanan super elite yang ditugaskan menjaga raja dan Kerajaan Mataram pada abad ke-14. Mereka ditugaskan untuk menjaga keamanan raja dan kerajaan, termasuk masyarakat Majapahit agar mereka tidak berbuat sesuatu yang mengancam kejayaan pemerintahan kerajaan.
Sementara itu, dikutip dari buku Gajah Mada: Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara Volume 2 karya Langit Kresna Hariadi, pasukan keamanan Bhayangkara memiliki anggota dengan kemampuan tinggi dalam hal membidik sasaran. Kemampuan itu bahkan dikatakan hampir mustahil dimiliki oleh orang biasa di luar Bhayangkara. Bahkan, penulis menganalogikan melalui kalimatnya pasukan Bhayangkara bisa mendapatkan sasarannya, walau hanya kakinya saja yang terlihat menyembul dari balik batang pohon. Ada 3 senjata yang digunakan oleh pendekar Bhayangkara dalam menjalankan tugasnya menjaga keamanan. Ketiga senjata itu adalah anak panah, pisau terbang, dan pedang panjang. Anggota Bhayangkara tidak dibekali dengan tombak bermata 3 atau Trisula, sebagaimana banyak digunakan oleh pasukan kerajaan yang tergambar lewat film-film kolosal Tanah Air. Ciri khas lain dari Pasukan Bhayangkara yang disebutkan dalam buku adalah formasi para pasukan jika tengah menaiki kuda. Pasukan Bhayangkara menunggang kuda tidak dalam formasi yang sangat rapat, melainkan cukup berjarak. Mungkin itu salah satu bagian dari taktik yang mereka terapkan. Salah satu peristiwa besar di Majapahit yang melibatkan Bhayangkara adalah saat terjadi pemberontakan Ra Kuti pada 1319. Pemberontakan ini memiliki misi ingin menumpas kepemimpinan Jayanegara yang saat itu menjadi Raja Majapahit. Oleh karena itu, nyawa sang raja pun terancam. Bhayangkara sebagai pasukan elite penjaga Raja, atau sejenis Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) saat ini, berupaya menyelamatkan sang raja dengan cara membawanya menjauh dari pusat pemerintahan. Wilayah Bedander yang ada di pegunungan kapur utara (saat ini pedalaman Bojonegoro, Jawa Timur) menjadi tempat tujuan Bhayangkara untuk mengamankan Jayanegara. Tidak banyak, pasukan Bhayangkara saat itu hanya terdiri dari 15 pendekar termasuk Gajah Mada sebagai pemimpin pasukan. Gajah Mada dikenal sebagai seorang patih yang tegas dan keras dalam menjalankan aturan hukum. Selama proses mengamankan raja, Gajah Mada melarang siapa pun dari anggota Bhayangkara pergi meninggalkan pasukan. Namun, ada salah satu dari mereka yang pergi hingga dianggap mengkhianati perintah. Padahal, perintah dikeluarkan bukan untuk mengekang tapi untuk memastikan misi berjalan sesuai rencana, mengingat pengikut Ra Kunti ada yang membuntuti mereka hingga ke tempat persembunyian. Dengan prinsip yang ia pegang teguh bahwa hukum harus ditegakkan, siapa pun yang melanggar maka harus menerima akibatnya. Meskipun, ia adalah temannya sendiri. Anggota yang meninggalkan pasukan itu kemudian dicari hingga ditemukan dan langsung dibunuh oleh Gajah Mada.
Kedisiplinan dan kesetiaan pada negara selalu ditunjukkan Gajah Mada dalam menjalankan tugasnya. Tanpa nilai-nilai itu, seorang prajurit akan kehilangan ke-bhayangkara-annya. Pasukan Gajah Mada memegang teguh 4 nilai kebhayangkaraan (Catur Prasetya). Keempat nilai ini hingga sekarang masih dianut oleh Polri, yakni Satya Haprabu (setia kepada pimpinan negara), Hanyaken Musuh (mengenyahkan musuh negara), Gineung Pratidina (bertekad mempertahankan negara), dan Tan Satrisna (iklhas dalam bertugas). Tak hanya nilai-nilai, sosok Gajah Mada juga hingga saat ini masih berdiri kokoh di Halaman Gedung Markas Besar Polri di Jakarta, sebagai tokoh yang mengawali keberadaan pasukan keamanan di Indonesia. (
Luthfia Ayu Azanella)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli