JAKARTA. Bank Indonesia mendeteksi sekitar 25% perusahaan swasta tidak melakukan transaksi lindung nilai atau hedging terhadap utang valuta asing (valas). Bank sentral mengkhawatirkan timbulnya risiko valas atas utang luar negeri yang dilakukan oleh swasta. Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengungkapkan, bank sentral melihat risiko dari perusahaan-perusahaan yang tidak melakukan hedging dapat menanggung rugi kurs jika mendapat penerimaan dalam bentuk rupiah. Sementara pinjamannya diperoleh dalam bentuk valas atau bukan mendapat pinjaman dari perusahaan induknya di luar negeri. "Ya, sebenarnya patut dipantau 25%. Itu adalah yang tidak hedging, revenue rupiah dan itu bukan pinjaman dari perusahaan induknya," kata Mirza di Gedung BI, Jakarta, Senin (26/5). BI menilai terdapat sisi positif dari utang luar negeri karena dapat menopang ekspansi. Namun menurut Mirza, hal itu baiknya tidak lantas menyurutkan niat perusahaan untuk tetap menjaga kehati-hatiannya. Sebab, saat ini bisa dibilang era suku bunga rendah telah berakhir pasca bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve (The Fed) mengisyaratkan akan kembali menaikkan Fed Red. Kenaikan suku bunga itu dikhawatirkan akan membebani perusahaan-perusahaan yang memiliki pinjaman berupa valas. Dalam kesempatan yang sama, Gubernur BI Agus Martowardojo juga terus mengingatkan persoalan utang luar negeri di negara-negara berkembang alias emerging market menjadi perhatian. Sebab, utang luar negeri swasta di negara-negara berkembang pada 2013 telah mencapai 84% dari Produk Domestik Bruto (PDB). "Utang yang terlalu besar dikhawatirkan akan memicu risiko nilai tukar ketika suku bunga di Amerika dinaikkan. Sedih rasanya kalau ada korporasi yang tahun 2012 masih untung Rp 3 triliun, tapi 2013 rugi Rp 29 triliun dan itu menimpa banyak perusahaan," jelasnya. Agus mengungkapkan, bahwa contoh kasus tersebut terjadi pada perusahaan yang tidak melakukan lindung nilai alias hedging padahal tidak memiliki penerimaan dalam bentuk valas, termasuk perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). "Masih banyak BUMN yang masih belum mau melakukan hedging. Padahal sudah disiapkan aturan, sudah dilakukan sosialisasi dan lain-lain," ucapnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
BI: 25% perusahaan swasta tak lakukan hedging
JAKARTA. Bank Indonesia mendeteksi sekitar 25% perusahaan swasta tidak melakukan transaksi lindung nilai atau hedging terhadap utang valuta asing (valas). Bank sentral mengkhawatirkan timbulnya risiko valas atas utang luar negeri yang dilakukan oleh swasta. Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengungkapkan, bank sentral melihat risiko dari perusahaan-perusahaan yang tidak melakukan hedging dapat menanggung rugi kurs jika mendapat penerimaan dalam bentuk rupiah. Sementara pinjamannya diperoleh dalam bentuk valas atau bukan mendapat pinjaman dari perusahaan induknya di luar negeri. "Ya, sebenarnya patut dipantau 25%. Itu adalah yang tidak hedging, revenue rupiah dan itu bukan pinjaman dari perusahaan induknya," kata Mirza di Gedung BI, Jakarta, Senin (26/5). BI menilai terdapat sisi positif dari utang luar negeri karena dapat menopang ekspansi. Namun menurut Mirza, hal itu baiknya tidak lantas menyurutkan niat perusahaan untuk tetap menjaga kehati-hatiannya. Sebab, saat ini bisa dibilang era suku bunga rendah telah berakhir pasca bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve (The Fed) mengisyaratkan akan kembali menaikkan Fed Red. Kenaikan suku bunga itu dikhawatirkan akan membebani perusahaan-perusahaan yang memiliki pinjaman berupa valas. Dalam kesempatan yang sama, Gubernur BI Agus Martowardojo juga terus mengingatkan persoalan utang luar negeri di negara-negara berkembang alias emerging market menjadi perhatian. Sebab, utang luar negeri swasta di negara-negara berkembang pada 2013 telah mencapai 84% dari Produk Domestik Bruto (PDB). "Utang yang terlalu besar dikhawatirkan akan memicu risiko nilai tukar ketika suku bunga di Amerika dinaikkan. Sedih rasanya kalau ada korporasi yang tahun 2012 masih untung Rp 3 triliun, tapi 2013 rugi Rp 29 triliun dan itu menimpa banyak perusahaan," jelasnya. Agus mengungkapkan, bahwa contoh kasus tersebut terjadi pada perusahaan yang tidak melakukan lindung nilai alias hedging padahal tidak memiliki penerimaan dalam bentuk valas, termasuk perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). "Masih banyak BUMN yang masih belum mau melakukan hedging. Padahal sudah disiapkan aturan, sudah dilakukan sosialisasi dan lain-lain," ucapnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News