JAKARTA. Bank Indonesia memperkirakan, tingkat kegagalan korporasi swasta dan badan usaha milik negara (BUMN) dalam membayar utang luar negeri mencapai 34%. Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah mengungkapkan, potensi tersebut merupakan skenario terburuk yang diukur melalui metode uji ketahanan atau stress test kinerja korporasi terhadap pelemahan nilai tukar rupiah. "Tingkat kegagalan korporasi pada skenario terburuk, memang cukup tinggi, mencapai 34% dari total utang luar negeri swasta," kata Halim di Gedung BI, Jakarta, Senin (19/5). Halim menjelaskan, potensi gagal bayar alias default tersebut merupakan kajian BI melalui stress test terburuk dengan indikator nilai tukar rupiah berada di level Rp 16.000 per dolar AS. "Tetapi, kami terus mengambil langkah-langkah bagaimana agar tingkat keberhutangan (leverage) korporasi bisa dikendalikan," ucapnya. Berdasarkan data BI, hingga akhir 2013 utang luar negeri swasta sudah mencapai US$ 141 miliar dan utang luar negeri pemerintah sebesar US$ 124 miliar. Dalam buku BI mengenai Kajian Stabilitas Keuangan, analisis ketahanan korporasi tersebut menggunakan metode Altman Z-score. Hasil kajian juga menyebutkan bahwa jumlah korporasi yang berada di area berisiko cenderung meningkat. Karena itu, kata Halim, bank sentral, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan juga pemerintah, terus melakukan koordinasi untuk dapat mengendalikan utang luar negeri swasta. "Contohnya seperti di beberapa negara, Korea Selatan misalnya, disana ada peraturan yang mengharuskan korporasi menyediakan dollar AS menjelang jatuh tempo pembayaran utang. Korporasi harus mempunyai dolar atau melakukan hedging (lindung nilai) dengan melakukan swap," jelas Halim.
BI: 34% utang luar negeri swasta potensi default
JAKARTA. Bank Indonesia memperkirakan, tingkat kegagalan korporasi swasta dan badan usaha milik negara (BUMN) dalam membayar utang luar negeri mencapai 34%. Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah mengungkapkan, potensi tersebut merupakan skenario terburuk yang diukur melalui metode uji ketahanan atau stress test kinerja korporasi terhadap pelemahan nilai tukar rupiah. "Tingkat kegagalan korporasi pada skenario terburuk, memang cukup tinggi, mencapai 34% dari total utang luar negeri swasta," kata Halim di Gedung BI, Jakarta, Senin (19/5). Halim menjelaskan, potensi gagal bayar alias default tersebut merupakan kajian BI melalui stress test terburuk dengan indikator nilai tukar rupiah berada di level Rp 16.000 per dolar AS. "Tetapi, kami terus mengambil langkah-langkah bagaimana agar tingkat keberhutangan (leverage) korporasi bisa dikendalikan," ucapnya. Berdasarkan data BI, hingga akhir 2013 utang luar negeri swasta sudah mencapai US$ 141 miliar dan utang luar negeri pemerintah sebesar US$ 124 miliar. Dalam buku BI mengenai Kajian Stabilitas Keuangan, analisis ketahanan korporasi tersebut menggunakan metode Altman Z-score. Hasil kajian juga menyebutkan bahwa jumlah korporasi yang berada di area berisiko cenderung meningkat. Karena itu, kata Halim, bank sentral, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan juga pemerintah, terus melakukan koordinasi untuk dapat mengendalikan utang luar negeri swasta. "Contohnya seperti di beberapa negara, Korea Selatan misalnya, disana ada peraturan yang mengharuskan korporasi menyediakan dollar AS menjelang jatuh tempo pembayaran utang. Korporasi harus mempunyai dolar atau melakukan hedging (lindung nilai) dengan melakukan swap," jelas Halim.