BI akan atur utang korporasi non eksportir



JAKARTA. Bank Indonesia (BI) akan mengatur korporasi yang ingin berutang pada perbankan luar negeri. Korporasi non eksportir yang penghasilannya dalam rupiah namun berutang dalam bentuk valuta asing (valas) menjadi fokus kebijakan BI. Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan BI akan mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang mengatur rasio aset korporasi dalam bentuk valas terhadap liabilitas atawa nilai utang dalam bentuk valas. Ia menjelaskan kalau peminjamnya adalah eksportir yang sudah secara natural mempunyai aset dalam bentuk valas dan melakukan pinjaman luar negeri maka utang relatif aman. Pasalnya, sudah ada natural hedging atawa lindung nilai yang terjadi secara otomatis ketika berutang. Nah, berbeda dengan korporasi non eksportir. Korporasi non eksportir tidak mempunyai penghasilan dalam bentuk valas. Ketika mereka meminjam ke luar negeri karena misalnya batas pinjaman dari dalam negeri sudah habis, maka liabilitas utang valasnya akan lebih besar dibanding aset valasnya. "Ini yang akan diatur. Jangan sampai liabilitas valasnya jauh lebih besar dibanding aset valasnya," ujar Mirza pada akhir pekan. Mengenai berapa rasio atau besaran utang yang diperbolehkan dalam bentuk valas tersebut, Mirza tidak menerangkan lebih lanjut. Dirinya mengakui untuk menutupi risiko antara aset dan liabilitas valas perlu dilakukan hedging. Aturan yang akan dikeluarkan BI ini merupakan aturan kehati-hatian korporasi dalam menarik utang luar negeri. BI menyadari di satu sisi Indonesia membutuhkan aliran modal dari luar negeri yang masuk melalui pembiayaan Surat Utang Negara (SUN), pembiayaan swasta hingga pembiayaan korporasi pelat merah alias Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun untuk berutang luar negeri sangat diperlukan kehati-hatian. BI merasa saat ini utang luar negeri swasta sudah kian membesar dan perlu dilakukan kontrol. Apalagi apabila utang luar negeri swasta tersebut digunakan untuk hal-hal yang tidak produktif. Asal tahu saja, BI belum pernah mengatur utang sektor swasta. Saat ini, yang dilakukan korporasi hanyalah sebatas menyampaikan laporan utang luar negerinya kepada BI.  Untuk perusahaan pelat merah sendiri ataupun berbagai proyek yang terkait dengan BUMN sudah ada aturan Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN) dengan beberapa persyaratan utama seperti kemampuan bayar utang perusahaan tersebut. Aturan PKLN sudah ada sejak tahun 1992. Yang akan diatur oleh BI dan sedang dibicarakan bersama dengan Kementerian Keuangan dan otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini adalah korporasi di luar BUMN dan proyek-proyek non BUMN. Sebagai informasi, posisi utang swasta pada bulan Juni mencapai US$ 153,22 miliar atau naik 0,76% dari posisi bulan sebelumnya US$ 152,07 miliar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Hendra Gunawan