KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) akan memperluas kerja sama transaksi penggunaan mata uang lokal atau local currency transaction (LCT). Ada dua negara baru yang akan dijajaki BI. Negara yang tengah BI jajaki adalah Korea Selatan dan India. Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai, kerja sama LCT dengan Korea Selatan dan India cukup tepat. Ini dengan menimbang hubungan kerja sama Indonesia dan kedua negara selama ini yang merupakan negara mitra dagang terbesar Indonesia. "Jadi memang harus diutamakan negara-negara yang arus perdagangannya besar, baru negara dengan arus investasi yang besar," tutur David kepada Kontan.co.id, Senin (23/1).
Asal tahu saja, di sepanjang tahun 2022, total nilai ekspor non migas Indonesia ke India tercatat sebesar US$ 23,30 miliar atau mencakup 8,44% dari total ekspor sepanjang tahun lalu. Sedangkan total nilai transaksi impor non migas dari India di sepanjang 2022 tercatat US$ 7,14 miliar atau setara 3,62% dari total nilai impor. Sementara itu, total nilai ekspor non migas Indonesia ke Korea Selatan US$ 10,66 miliar atau setara 3,86% dari total ekspor non migas. Adapun, total nilai impor non migas dari Korea Selatan tercatat sebesar US$ 9,92 miliar atau 5,03% dari total nilai impor non migas.
Baca Juga: Jaga Rupiah, BI Bisa Maksimalkan Kerja Sama LCT Hingga Buat DHE Betah di Dalam Negeri Selain melihat total nilai transaksi perdagangan dan investasi, David juga menyoroti jumlah pelancong yang datang dari kedua negara tersebut. Jumlah wisatawan mancanegara dari Korea Selatan dan India cukup mendominasi total jumlah pelancong asing yang datang ke Indonesia. Adapun dari Januari 2022 hingga November 2022, jumlah wisatawan mancanegara dari India tercatat 218,4 ribu kunjungan atau 4,8% dari total jumlah kunjungan. Menurut David, bila kesepakatan LCT dengan kedua negara tersebut berhasil diterapkan dalam waktu dekat atau minimal tahun ini, tentu dampaknya positif terhadap nilai tukar rupiah. "Jadi, ini akan mengurangi ketergantungan dengan dolar Amerika Serikat (AS). Karena masih banyak ketidakpastian prospek nilai tukar rupiah pada tahun ini," tambah David. Ketidakpastian datang dari bank sentral AS yang mulai memperlambat kenaikan suku bunga acuan, tetapi di sisi lain China mulai melonggarkan kebijakan nol Covid-19. Dalam hal ini, perlambatan laju kenaikan suku bunga acuan AS memang sudah membuahkan hasil berupa penurunan permintaan, sehingga ini bisa menekan inflasi. Namun, dengan pelonggaran kebijakan nol Covid-19 di China, maka ini akan menaikkan permintaan dan berpotensi menyundut inflasi. Sehingga tentu saja ini merupakan kebijakan dua negara adidaya yang tak selaras, sehingga bisa memengaruhi ketidakpastian global.
David pun memperkirakan, nilai tukar rupiah pada awal tahun 2023 berada di kisaran Rp 15.000 hingga Rp 15.200 per dolar AS dan berpotensi melemah pada pertengahan tahun 2023. "Sehingga dengan demikian, harapannya LCT bisa mengurangi gejolak sehingga pelemahan rupiah nantinya bisa diredam," tandasnya.
Baca Juga: BI Berencana Perluas Transaksi Mata Uang Lokal ke India dan Korea Selatan Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat