BI Akan Serahkan Data Pembeli Valas ke Pajak



JAKARTA. Pengawasan pada transaksi valuta asing (valas) oleh perorangan akan semakin ketat. Kini, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak berhasil menggandeng Bank Indonesia (BI) mewajibkan pembeli valas perorangan menyertakan nomor pokok wajib pajak (NPWP). BI kemudian akan menyerahkan data ini ke Ditjen Pajak.

Ada batasan transaksi yang akan terkena kewajiban ini. "Untuk transaksi senilai US$ 10.000 ke atas, wajib menyebutkan NPWP," kata Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution, Selasa kemarin (11/11).

Kewajiban ini akan terbit dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI). Darmin belum dapat memastikan kapan PBI itu akan terbit. Namun sepertinya itu tidak lama lagi. Beberapa waktu lalu Darmin menyatakan, peraturan ini sebaiknya berlaku mulai November 2008 ini.


Selama ini, bagi pembeli valas perorangan, BI hanya mewajibkan bank dan pedagang valas meminta tanda pengenal pribadi berupa KTP, SIM, atau paspor, jika transaksinya mencapai Rp 100 juta.  Hingga akhir Oktober 2008, pemilik NPWP untuk pribadi tercatat sebanyak enam juta orang. Maka kalau peraturan ini berlaku, berarti hanya merekalah yang bisa melakukan transaksi valas dalam jumlah di atas US$ 10.000.

Ketentuan yang mengikat pembelian valas ini berlaku untuk transaksi melalui bank maupun money changer.  Dalam PBI itu BI akan mewajibkan bank dan money changer untuk meminta data nasabah transaksi valas perorangan dan menyertakan NPWP-nya. Prosedur berikutnya, bank maupun money changer menyerahkan data transaksi itu ke BI. Selanjutnya, BI menyerahkan data itu ke Ditjen Pajak.

Dari laporan itulah aparat pajak akan menelisik kepatuhan para pembeli valas perorangan dalam membayar pajak. Jika ada yang kurang atau tak beres, para aparat pajak tidak ragu untuk mengejar.

Ini adalah metode lain pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dari pajak. Khususnya, penerimaan negara dari pajak pada tahun depan yang terancam tak mencapai target gara-gara krisis global. "Jangan sampai pembeli valas melakukan transaksi besar tapi tidak membayar pajak dengan baik," sambung Darmin.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Hartadi A Sarwono belum mau memastikan kapan PBI itu akan terbit. "Saya sedang rapat, saya belum bisa berbicara," kata Hartadi. Direktur Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat BI Dyah Nastiti Makhijani juga masih diam seribu bahasa.

Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Andi Rahmat tak mempersoalkan aturan baru ini. Ia menilai rencana ketentuan itu  sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP).

Cuma, Andi melihat peraturan ini masih memiliki celah yang bisa membuat aparat salah menangkap sasaran. "Bisa saja nanti yang bertransaksi hanya kurir, dan kurir itu sengaja dibekali dengan NPWP," kata Andi.

Selain menjaring pajak, tujuan lain peraturan baru ini bisa juga untuk mengurangi transaksi valas yang tak memiliki dasar tujuan yang jelas. Pemerintah bisa berharap, pembatasan  itu bisa sedikit meredam fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar.

Tapi, Direktur Currency Management Group Farial Anwar menilai peraturan ini tak akan efektif meredam fluktuasi rupiah. "Batas transaksi yang cuma US$ 10.000 itu justru hanya akan merepotkan individu yang memang membutuhkan dolar," kata Farial.

Selama ini, transaksi yang bisa membuat kurs rupiah terombang-ambing adalah transaksi besar oleh korporasi, umumnya BUMN. Nilainya biasanya pada kisaran US$ 100 juta per transaksi. "Kebutuhan dolar mereka juga datangnya sering mendadak sehingga membuat kurs rupiah tertekan," kata Farial.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie