KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menurunkan BI Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) September 2024. Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan, setidaknya ada lima alasan BI menurunkan BI-rate lebih cepat dibandingkan Bank Sentral AS The Fed. Alasan pertama, BI melihat bahwa arah penurunan suku bunga The Fed sudah lebih jelas, baik waktu penurunannya maupun besarannya. Hal tersebut menurut Perry dapat berdampak pada kondisi makro ekonomi, termasuk inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: 5 Alasan BI Pangkas Suku Bunga Lebih Cepat dari The Fed BI meyakini, The Fed akan menurunkan suku bunga sebanyak tiga kali tahun ini, yakni pada September, hingga Desember 2024, dengan masing-masing penurunan sebanyak 25 bps. “Probabilitas besar untuk September besar 25 bps, yang probabilitas agak kecil September 50 bps,” terangnya. Kedua, kondisi nilai tukar rupiah sudah stabil, atau cenderung menguat. Nilai tukar Rupiah pada September 2024 (hingga 17 September 2024) menguat menjadi Rp 15.330 per dollar AS atau menguat 0,78% dibandingkan dengan posisi akhir Agustus 2024. Penguatan rupiah ini tercatat lebih tinggi dibandingkan apresiasi mata uang regional seperti Won Korea dan Rupee India yang menguat sebesar 0,32% dan 0,13%. Baca Juga: BI Pangkas BI Rate Jadi 6%, Bagaimana Efeknya ke Instrumen Investasi Domestik? Penguatan nilai tukar rupiah ini salah satunya didorong intervensi pasar, dan penerbitan SRBI yang akhirnya menarik aliran modal asing masuk. Ketiga, kondisi inflasi yang rendah dan diperkirakan tetap terkendali hingga akhir tahun. BI memperkirakan inflasi akan terkendali di rentang 2,5% plus minus 1% pada 2024 dan 2025. Keempat, BI mendorong dan mendukung pertumbuhan ekonomi, khususnya dari sisi ritel juga usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dorongan tersebut melalui bauran makroprudensial, sistem pembayaran, moneter memang sudah mulai untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. “Sebelumnya moneter kan lebih pro-stability, sekarang sudah lebih balance antara stability and growth. Sementara makroprudensial dan sistem pembayaran sejak awal sudah pro-growth,” ungkapnya.