BI belum puas dengan posisi suku bunga kredit perbankan yang ada saat ini



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) mengaku belum cukup puas dengan posisi suku bunga kredit perbankan yang ada saat ini. Sebabnya, BI sejak Juni 2019 lalu sudah memangkas bunga acuan BI 7-day reverse repo rate (7DRRR) sebesar 225 basis poin ke level 3,5%. Namun, bunga kredit perbankan masih cukup jumbo. 

Padahal, dalam situasi pandemi Covid-19 daya beli dan kemampuan membayar masyarakat sedang melemah. "Suku bunga kredit masih sangat rigid (kaku) ini kelihatan spreadnya sangat meningkat. Justru mengalami pelebaran. Artinya bank-bank mencoba mendapatkan keuntungan yang lebih di saat seperti ini," ujar Asisten Gubernur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Juda Agung dalam Video Conference, Senin (22/2). 

Dia juga menambahkan, untuk bunga deposito perbankan sejatinya sudah turun mengikuti penurunan bunga acuan. Hanya saja, transmisi penurunan bunga kredit jauh lebih lambat. 


Menurut riset dan analisis BI, sejak bulan Juni 2019 penurunan suku bunga dasar kredit (SBDK) perbankan secara rata-rata baru turun 116 bps. Hal ini menyebabkan spread SBDK terhadap BI7DRR cenderung melebar dari sebesar 5,27% pada Juni 2019 menjadi sebesar 6,36% pada Desember 2020. "Ini yang sebenarnya tidak kita inginkan. Bagi BI kita ingin kalau suku bunga diturunkan, harusnya respon (bank) juga sama," ujarnya. 

Masih dari riset yang sama, bila dilihat dari kelompok banknya, SBDK Bank BUMN justru lebih kaku dibandingkan kelompok bank lainnya. Justru, SBDK Kantor Cabang Bank Asing (KBCA) yang secara catatan paling responsif terhadap penurunan suku bunga kebijakan BI. 

Tercatat, SBDK bank BUMN ada per Desember 2020 lalu ada di level 10,79% baru turun 88 bps dari posisi Juni 2019 11,67%. Sementara untuk Bank Pembangunan Daerah (BPD) sebesar 9,8% turun dari 70 bps sejak Juni 2019.  Kemudian Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) mencapai 9,67% turun 120 bps. Sedangkan KCBA memiliki SBDK paling rendah menyentuh 6,17% atau sudah turun 290 bps. 

Tidak berhenti di situ, BI juga menilai rigiditas SBDK terjadi di hampir semua segmen kredit. Mulai dari kredit konsumsi, korporasi dan ritel. Respon teratas oleh perbankan ini juga tercermin pada penurunan SBDK yang rendah. 

Misalnya terjadi pada segmen kredit konsumsi Non KPR yang baru turun 67 bps maupun kredit konsumsi KPR sebesar 57 bps sejak Juni 2019. Namun, BI memaklumi lambatnya penurunan SBDK KPR mayoritas disebabkan faktor tenor pinjaman yang bersifat menengah-panjang. 

Masih dari segmen kredit, BI justru menilai suku bunga kredit mikro lebih responsif terhadap penurunan suku bunga BI7DRR. Tercatat sejak Juni 2019 bunga kredit mikro sudah turun 276 bps. Meskipun masih tinggi yakni mencapai 13,75%. 

Pun, penurunan SBDK segmen kredit mikro tentunya tidak terlepas dari kebijakan pemerintah dalam mendorong pembiayaan pada skala usaha mikro melalui subsidi bunga kredit. Terutama di tengah pelemahan ekonomi akibat pandemi Covid-19. 

Untuk itu, BI pun akan mengeluarkan kebijakan transparansi suku bunga dasar kredit perbankan. Tujuannya, agar masyarakat lebih paham mengenai tingkat bunga kredit di masing-masing bank. Dengan demikian, akan menciptakan iklim persaingan antar bank yang lebih sehat. Dus, lambat laun mendorong transmisi penurunan bunga kredit lebih cepat. 

"Publikasi (kebijakan) ini bertujuan meningkatkan tata kelola, disiplin pasar dan kompetisi dalam pembentukan SBDK perbankan sehingga SBDK yang ditawarkan dapat lebih kompetitif," ungkap Juda. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .