BI Beri Remunerasi Untuk Penempatan Dana pada Excess Reserves



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah minimnya permintaan kredit, Bank Indonesia (BI) kembali memiliki amunisi yang kali ini membantu perbankan dalam menjaga likuiditasnya. Dalam hal ini,  BI bakal memberikan imbal hasil jika bank memilih menempatkan dananya pada excess reserves.

Adapun, excess reserves adalah penempatan dana pada rekening BI selain Giro Wajib Minimum (GWM). Di mana, besaran remunerasi pada excess reserves ditetapkan sebesar 25 basis poin (bps) di bawah tingkat suku bunga Deposit Facility, yakni sebesar 3,50%. Sementara, remunerasi pada Giro Wajib Minimum (GWM) tetap sebesar 1,50%.

Sebagai gambaran, data OJK mencatat penempatan dana perbankan di BI pada kuartal III/2025 telah mencapai Rp 929,3 triliun. Angka tersebut terus meningkat dari periode sama tahun sebelumnya yang senilai Rp 784,63 triliun.


Deputi Gubernur BI Juda Agung bilang tujuan dari remunerasi tersebut agar bank-bank yang memiliki kelebihan likuiditas tidak semua dimasukkan ke instrumen operasi moneter. Dalam hal ini seperti instrumen Sekuritisasi Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Memang, jumlah kepemilikan bank di instrumen SRBI terus mencatatkan peningkatan. Di mana, per November 2025 tercatat senilai Rp 618,31 triliun atau naik 2,76% YoY.

Baca Juga: Pembiayaan Mobil Listrik Multifinance Capai Rp 17,64 Triliun per Oktober 2025

“Selama ini excess likuiditas karena permintaan kredit belum kuat, banyak yang kemudian kembali masuk ke BI via operasi moneter,” ujar Juda kepada KONTAN, Kamis (18/11).

Lebih lanjut, ia bilang dana yang ditempatkan pada rekening BI itu juga bisa ditarik kapan pun. Alhasil, jika bank melihat sudah ada peningkatan permintaan kredit bisa langsung mengambil dana tersebut.

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Perusahaan BSI Wisnu Sunandar bilang pihaknya menyambut baik remunerasi tersebut. Harapannya, itu bisa menambah fleksibilitas likuiditas perbankan syariah.

Terlebih, ia bilang Dana Pihak Ketiga (DPK) yang dimiliki BSI selain disalurkan kepada pembiayaan sebagai aset terbesar bank, juga ditempatkan pada surat berharga syariah diantaranya surat berharga syariah negara (SBSN), sukuk bank indonesia (Sukbi) dan sukuk korporasi. 

“Bank juga memiliki aset berupa kas, giro wajib minimum (GWM) dan penempatan pada instrumen Bank Indonesia,” ujar Wisnu.

Sebagai informasi, DPK BSI tumbuh 15,66% YoY hingga  kuartal III/2025 menjadi Rp 348,38 triliun.Peningkatan dana tersebut mendorong aset BSI tumbuh 12,37% menjadi Rp 416 triliun.

Sementara itu, Direktur Kepatuhan Bank Oke Efdinal Alamsyah mengakui jika memang ada kelebihan likuiditas, maka pihaknya akan memanfaatkan remunerasi tersebut. Terlebih, bank saat ini cenderung berada pada posisi likuiditas yang relatif longgar.

“Bank masih memiliki ruang likuiditas yang cukup untuk mendukung ekspansi,” ujarnya.

Ia bilang kebijakan ini secara umum menguntungkan bank yang memiliki kelebihan likuiditas atau pertumbuhan kredit yang masih terbatas. Pasalnya, bank memperoleh pendapatan bunga dari penempatan dana di BI tanpa tambahan risiko maupun biaya operasional, sehingga dana tidak lagi menganggur.

Dalam jangka pendek, kata Efdinal, penempatan dana di BI menjadi alternatif yang optimal saat permintaan kredit masih lemah. Namun, kebijakan ini bukan strategi jangka panjang karena pertumbuhan bank tetap harus didorong oleh ekspansi kredit. 

“Dengan adanya imbal hasil, instrumen BI kini menjadi lebih menarik dibandingkan sebelumnya dalam pengelolaan likuiditas bank,” jelasnya.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede berpandangan BI menegaskan remunerasi ini sebagai instrumen untuk ekspansi likuiditas dan memberi ruang gerak lebih besar bagi bank dalam mengelola kelebihan likuiditas agar lebih aktif mendorong sektor riil. 

Ia melihat kebijakan remunerasi atas cadangan likuiditas berlebih pada dasarnya memberi imbal hasil yang lebih jelas atas dana bank yang mengendap di bank sentral di luar kewajiban giro wajib minimum.

Josua menyebutkan dampaknya ke perbankan cenderung muncul lewat dua jalur. Pertama, ada tambahan pendapatan bunga yang bersifat aman bagi bank yang memang sedang memegang likuiditas berlebih, sehingga menurunkan biaya peluang menahan penyangga likuiditas harian. 

Kedua, dari sisi manajemen likuiditas, bank menjadi tidak terlalu dipaksa mengambil posisi di instrumen jangka pendek hanya demi menghindari dana menganggur, karena ada kompensasi yang relatif layak untuk parkir dana sementara sambil menunggu waktu pencairan kredit atau kebutuhan operasional. 

“Namun, ini bukan keuntungan yang otomatis besar, karena tingkat remunerasi tersebut sengaja ditempatkan di bawah fasilitas simpanan sehingga tetap ada dorongan agar likuiditas tidak terlalu nyaman mengendap apabila kesempatan penyaluran kredit membaik,” pungkasnya.

Baca Juga: Prudential Syariah Sebut Aturan Spin Off UUS Bawa Dampak Positif bagi Industri

Selanjutnya: Viral Masalah Sampah di Tangsel, Ini Respon Menteri PU

Menarik Dibaca: Ciri-Ciri Anak Perfeksionis dan 6 Cara Menghadapinya dengan Tepat, Moms Harus Tahu!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News