BI: Capital inflow akhir April naik Rp 20 triliun



JAKARTA. Fundamental ekonomi Indonesia masih menarik investor portofolio yang tercermin dari arus modal asing yang masuk (capital inflow) ke pasar keuangan domestik. Meski mengalami tekanan, BI melihat kondisi tersebut masih wajar. Bahkan, kurs rupiah diperkirakan masih akan terapresiasi.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengatakan, capital inflow sejak awal tahun hingga 21 April lalu sebesar Rp 96 triliun. Angka itu lebih tinggi Rp 20 triliun dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang sebesar Rp 76 triliun.

Agus menilai, kondisi tersebut menunjukkan fundamental ekonomi Indonesia masih cukup kuat. Hal tersebut juga sejalan dengan kurs rupiah yang stabil di tahun ini dan cenderung menguat.


BI mencatat, nilai tukar rupiah sejak awal tahun hingga saat ini terapresiasi 1,09%, walaupun sempat mengalami pelemahan sejak Kamis (27/4) hingga Jumat (28/4).

Berdasarkan data Bloomberg, kurs rupiah pada Kamis lalu terdepresiasi 0,23% dan pada Jumat lalu kembali terdepresiasi 0,11% ke level Rp 13.329 per dollar AS.

"Kalau seandainya melemah itu masih dalam kondisi wajar. Masuknya dana itu cukup besar," kata Agus, Jumat lalu.

Agus juga mengatakan, tekanan kurs di kuartal kedua nanti seiring pembayaran deviden merupakan kondisi yang wajar. Tak hanya itu, gejolak yang timbul khususnya dari global masih wajar.

Sebab, perkembangan kondisi dunia juga masih dalam tahap observasi. Misalnya, harga minyak mentah dunia yang turun di level US$ 50 per barel karena produksi minyak mentah AS cukup besar.

Namun menurut dia, fundamental ekonomi Indonesia masih cukup kuat untuk menahan hal itu. Salah satunya karena defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) tahun lalu yang lebih rendah, yaitu 1,8% dari produk domestik bruto (PDB) dan posisi cadangan devisa Indonesia per akhir Maret lalu mencapai US$ 121,8 miliar.

"Tetapi nilai tukar kita tetap terapresiasi selama 2017 dan 2016 juga ada apresiasi 2,3% dan yang sekarang ada di kisaran 1,5% year to date," tambah Agus.

Meski demikian, pihaknya tetap memberikan perhatian khusus terhadap potensi risiko eskteranl berupa rencana pengurangan neraca Bank Sentral AS (The Fed) dan kenaikan suku bunga acuan The Fed serta geopolitik yang terjadi di Korea Utara.

Ekonom SKHA Institute for Global Competitiveness Eric Sugandi melihat masih adanya capital inflow ke Indonesia di tahun ini meski adanya sejumlah risiko eksternal. Termasuk risiko yang datang dari pengurangan neraca The Fed yang dibarengi dengan kenaikan suku bunga The Fed.

Namun menurutnya, risiko tersebut juga berpotensi mengurangi capita inflow ke Indonesia. "Sehingga rupiah bisa tertekan jika ada capital outflows besar, apalagi tahun depan investor asing mulai memasukkan faktor resiko pemilu 2019," kata Eric.

Namun menurutnya, dampak dari pengurangan neraca The Fed tersebut pada tahun ini tidak terlalu besar. Sebab, pengurangan itu akan dilakukan secara bertahap.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia