KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) telah menaikkan lagi suku bunga acuan 7-day reverse repo rate untuk kedua kalinya pada tahun ini sebesar 25 bps setelah beberapa waktu lalu menaikkan 25 bps. Hal ini untuk merespon gejolak dari global. Meski begitu, dalam saat yang bersamaan, BI tengah menyiapkan kebijakan makroprudensial melalui relaksasi rasio pinjaman atau kredit terhadap nilai agunan (loan to value atau LTV) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Meski demikian demand dari masyarakat masih cenderung lemah. Project Consultant Asian Development Bank (ADB) Institute Eric Sugandi mengatakan, permintaan kredit masih belum kuat karena pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih tertekan. Oleh karena itu, pemerintah perlu menjalankan kebijakan fiskal yang fokus pada daya beli.
“Untuk dorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah mesti menjalankan kebijakan fiskal yang ekspansif, dengan prioritas utama pada perbaikan daya beli masyarakat,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Rabu (30/5). Eric melihat, hal ini sudah diupayakan oleh pemerintah via berbagai kebijakan, misalnya bansos dan subsidi energi agar harga BBM subsidi dan Tarif Dasar Listrik (TDL) tidak naik. Dengan demikian, kebijakan ini tinggal dilihat saja apakah berhasil atau tidak. Namun demikian, masih ada yang perlu diperhatikan oleh pemerintah. “Yakni untuk jaga stabilitas harga, pemerintah mesti jaga ketersediaan pasokan barang. Dan berusaha untuk tidak naikkan administered prices,” jelasnya. Ia melanjutkan, sehatnya daya beli masyarakat juga menentukan pertumbuhan ekonomi dari sisi investasi. Sebab, jika konsumsi masyarakat menguat, investasi bisa tumbuh lebih cepat.