KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) menyadari saat ini ketidakpastian global sangat tinggi. Ketidakpastian tersebut, salah satunya, bersumber dari gejolak geopolitik Rusia dan Ukraina yang kemudian memberi dampak rambatan. Seperti kita ketahui, perang kedua negara ini kemudian membawa peningkatan harga komoditas seperti harga minyak dan menyundut inflasi di berbagai negara. Kenaikan inflasi ini kemudian memaksa negara-negara untuk mulai normalisasi kebijakan moneternya, bahkan lebih cepat dari perkiraan semula. Direktur Eksekutif, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Edi Susianto menyebut, kondisi ini kemudian berisiko membawa hengkangnya arus modal asing keluar dari pasar keuangan (capital outflows) negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Memang, ada sentimen risk-off di pasar keuangan. Pelaku pasar cenderung main aman dengan kembali berinvestasi di mata uang dollar Amerika Serikat (AS) dan mengalokasikan asetnya di pasar tunai,” tutur Edi kepada Kontan.co.id, Jumat (10/6). Baca Juga: Bank Dunia Sebut Pengetatan Kebijakan Moneter Bisa Hambat Modal Asing ke Asia Pasifik Di Indonesia sendiri, hal ini sudah terlihat dari hengkangnya penanam modal asing dari pasar keuangan dalam negeri selama beberapa waktu terakhir. Ini pun membawa pelemahan nilai tukar rupiah dalam beberapa waktu terakhir. Namun, bukan berarti pelemahan nilai tukar rupiah ini juga merupakan pertanda gonjang-ganjing di pasar keuangan dalam negeri. Ini juga didorong oleh peningkatan kebutuhan valuta asing (valas) oleh perusahaan untuk pembayaran kewajiban (impor dan pinjaman), yang memang sesuai dengan siklusnya. Dengan kondisi ini, Edi meyakini dampak ketidakpastian global ke pasar keuangan dalam negeri masih bisa dikendalikan (managable). Ini juga terlihat sudah ada aliran modal asing masuk ke pasar keuangan dalam negeri pada awal pekan Juni 2022. Adapun, menurut catatan BI, berdasarkan data transaksi periode 30 Mei 2022 hingga 2 Juni 2022, nonresiden di pasar keuangan domestik beli neto Rp 10,37 triliun yang terdiri dari beli neto di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 10,37 triliun dan beli neto di pasar saham sebesar Rp 4,43 triliun.