BI dan pemerintah dapat sorotan baru terkait IMF



JAKARTA. Silang pendapat tentang utang ke Dana Moneter Internasional atawa International Monetary Fund (IMF) masih menjadi gunjingan.  Kini, muncul soal lain seputar IMF: pemerintah dan BI tidak meminta izin kepada DPR dalam mempertahankan keanggotaan Indonesia di IMF. 

Dalam audit tentang kepatuhan pemerintah terhadap peraturan perundang-undangan tahun 2012, BPK menyatakan ada potensi beban negara yang ditemukan di pos investasi permanen penyertaan modal negara (PMN) di lembaga keuangan internasional  sebesar Rp 38,49 triliun.

Dari jumlah itu, sebanyak Rp 30,9 triliun adalah penyertaan Indonesia pada keanggotaan di IMF. Sekitar Rp 26,5 triliun dari dana itu dalam bentuk promisorry notes.


 Rupanya, penyertaan ini berkaitan dengan kebijakan kenaikan kuota ke-14 yang berlaku bagi anggota IMF, termasuk Indonesia. Bagi Indonesia, kebijakan kenaikan kuota ke-14 ini setara dengan Rp 38,18 triliun atau dari SDR 2,07 miliar menjadi SDR 4,6 miliar dengan kuota dari 0,872% jadi 0,975%.

Pembayaran dananya ke IMF dalam bentuk: 25% reserve asset atau setara dengan Rp 9,5 triliun, dan 75% dalam mata uang domestik ke rekening nomor 1 IMF atau dengan menerbitkan promissory notes (bagi Indonesia, nilainya Rp 28,6 triliun).

Demi mempertahankan keanggotaan Indonesia di IMF, Gubernur BI saat itu Darmin Nasution dan Menteri Keuangan Agus Martowardojo kemudian berkomunikasi secara formal melalui surat.  Pada 14 Desember 2011, pertama, Gubernur BI menyatakan setuju pembayaran kuota itu dialihkan kepada BI karena pemerintah belum memasukkan anggarannya di APBN.

Kedua, BI membutuhkan dasar hukum. BI meminta Peraturan Pemerintah (PP) No.1/1967 tentang keanggotaan di IMF dan IBRD direvisi agar BI ikut berwenang untuk mewakili negara. 

Atas surat itu, Menkeu Agus Martowardojo menyatakan dua hal dalam suratnya tertanggal 28 Desember 2011. Pertama, Menkeu atas nama pemerintah RI menyetujui kenaikan kuota ke-14 sehingga Gubernur BI sebagai gubernur di IMF dapat mengirimkan letter of consent ke IMF.  Kedua, setuju dilakukan revisi terhadap PP No.1/1967 yang intinya akan mengatur keterwakilan pemerintah di IMF dapat diwakili pemerintah sendiri atau bersama-sama dengan BI. 

Komisi XI akan panggil

Atas masalah ini, singkatnya BPK menilai pemerintah dan BI saat itu lalai karena tak meminta persetujuan DPR RI. Persetujuan DPR diperlukan karena keputusan itu dapat  memiliki pengaruh besar kepada anggaran negara. Namun dalam audit tersebut, pemerintah menyatakan  pengiriman letter of consent ke IMF tidak serta merta menjadi kewajiban atau utang bagi Indonesia. "Indonesia masih memiliki opsi tidak membayar dengan konsekuensi persentase kuota dan hak suara Indonesia berkurang," jawab pemerintah dalam audit itu.

Harry Azhar Azis, wakil ketua Komisi XI DPR waktu itu dan kini sebagai Ketua BPK, mengaku tidak ingat apakah pemerintah dan BI sudah meminta izin kepada DPR sebelum mengirimkan letter of consent ke IMF. "Kebijakan itu memang itu perlu izin DPR," tutur Harry.

Adapun Fadel Muhammad, Ketua Komisi XI DPR saat ini mengatakan telah mengetahui audit tersebut sehingga akan memanggil pemerintah dan BI mengenai hal ini.

Sedangkan Ahmad Erani Yustika, anggota Badan Supervisi BI mengatakan sebagaian besar kewajiban pemerintah di lembaga keuangan global banyak ditalangi oleh BI. "Ini harus diperjelas dan harus dicarikan penyelesaiannya," katannya.                                    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie