JAKARTA. Prediksi kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve pada Juni 2017 semakin menguat. Namun, para ekonom berharap Bank Indonesia (BI) tidak mengubah kebijakan moneternya guna menghadapi perubahan dari AS. Bunga acuan BI 7-day reverse repo rate di level 4,75% tak perlu dinaikkan meski Fed Rate naik. Seperti diketahui, sejak kemarin Rabu (17/5), berlangsung Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI. Hari ini, Kamis (18/5), RDG akan memutuskan kebijakan moneter untuk sebulan mendatang. Kebijakan ini penting karena ada perkiraan Fed Rate akan naik untuk yang kedua kali pada Juni , dengan dukungan data makro ekonomi membaik. Sebut saja tingkat pengangguran di AS yang cukup rendah di level 4,4% pada April 2017. Sedangkan, inflasi inti terjaga di level 1,9%, mendekati target jangka panjang The Fed yaitu 2%.
Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, The Fed juga telah mengkomunikasikan kepastian penurunan neraca The Fed yang akan dilakukan secara bertahap. Tak hanya itu, The Fed juga telah mengkomunikasikan rencana kenaikan suku bunga acuannya di Juni nanti. Penurunan neraca The Fed, lanjut Agus, akan berdampak pada pengetatan kebijakan moneter AS. "Jadi ini masing-masing harus kami terus waspadai," katanya, Jumat (12/5). Ekonom Bank Permata Josua Pardede bilang, arah kebijakan BI masih memadai untuk menghadapi inflasi yang berpotensi naik bulan depan. Peningkatan tersebut sejalan dengan kenaikan permintaan barang dan jasa saat puasa dan Lebaran dan penyesuaian tarif listrik awal Mei lalu. Selain itu, BI juga masih mewaspadai risiko global yakni kenaikan Fed Rate bulan depan, tren kenaikan inflasi AS, tekanan geopolitik, dan penurunan neraca The Fed yang berpotensi mempengaruhi stabilitas rupiah. Lebih lanjut menurutnya, selisih suku bunga acuan dengan inflasi (
real interest rate) Indonesia pada tahun ini masih positif 55-75 basis points (bps). Sementara r
eal interest rate AS masih negatif 50-90 bps. Dengan demikian, aset berdenominasi rupiah masih lebih atraktif dibandingkan aset negara-negara maju. "Jadi, BI masih tepat mempertahankan suku bunga acuan 4,75% hingga akhir tahun," kata Josua, Rabu (17/5). Ekonom Development Bank of Singapore (DBS) Gundy Cahyadi menambahkan, tantangan BI menjaga stabilitas makro juga ada yang dari domestik. Yakni berupa ancaman kenaikan inflasi mulai Mei hingga Juli. Inflasi Juni-Juli diperkirakan melonjak tinggi karena kenaikan harga barang konsumsi saat puasa dan Lebaran. Meski demikian, Gundy menyebut BI belum perlu menaikkan suku bunga acuan. Jaga stabilitas Apalagi nilai tukar rupiah saat ini cenderung stabil dan menguat 1,09% selama kuartal pertama tahun ini. Selain itu, surplus transaksi modal dan finansial pada kuartal pertama 2017 masih tercatat sebesar US$ 7,9 miliar, hampir dua kali lipat dibanding kuartal pertama tahun lalu. Defisit transaksi berjalan kuartal pertama tahun ini juga lebih terkendali, yaitu 1% dari produk domestik bruto (PDB), dibanding kuartal pertama tahun lalu yang sebesar 2,1% dari PDB. Dengan demikian, saat ini yang dibutuhkan adalah stabilitas kebijakan.
Ekonom SKHA Institute for Global Competitiveness Eric Sugandi juga memproyeksi bank sentral akan menahan suku bunga acuannya bulan ini. Hal itu lantaran potensi tekanan inflasi bulan depan dan risiko tekanan rupiah dari faktor ketidakpastian global. Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, ketidakpastian global berkurang pasca terpilihnya Emmanuel Macron sebagai Presiden Prancis dalam pemilihan presiden awal Mei lalu. Dari sisi domestik, David menilai inflasi masih stabil dan neraca pembayaran Indonesia juga masih mencatatkan surplus. "Jadi sebenarnya membuka ruang penurunan, tetapi di sisi lain ada kondisi AS yang data ekonominya masih mix. Ke depan kita enggak tahu The Fed lebih agresif atau tidak," kata David. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia