BI dukung rencana penetapan rasio utang swasta



JAKARTA. Rencana Kementerian Keuangan (Kemkeu) menertibkan perusahaan dengan utang besar lewat aturan soal rasio utang terhadap modal atau debt to equity ratio (DER) mendapat dukungan Bank Indonesia (BI). Bahkan, otoritas bank sentral tengah memantau beberapa perusahaan yang memiliki risiko besar dalam pembayaran utang.Gubernur BI, Darmin Nasution mengungkapkan, fokus perhatian BI saat ini adalah perusahaan yang pendapatannya dalam rupiah dan tidak memiliki perusahaan afiliasi di luar negeri, namun memiliki utang dalam bentuk dollar AS. "Kami memang sedang mengikuti betul ada berapa perusahaan yang risikonya besar," katanya, Rabu (23/1).Sayang, Darmin enggan menyebut berapa perusahaan yang tengah dipantau. Tapi, saat ini, BI terus berkomunikasi dengan beberapa perusahaan itu agar jangan terjadi risiko gagal bayar.Darmin juga melihat, saat ini, porsi utang luar negeri swasta sudah cukup besar, meski belum mengkhawatirkan. Ia juga yakin, rencana pembatasan rasio DER tidak akan terlalu berpengaruh pada dunia perbankan. Sebab, perusahaan tetap dapat melakukan pinjaman, meski harus juga melihat kemampuan dan pendapatannya. "Tidak ada masalah kalau debt to equity ratio diatur paling wajar," ujarnya.Menurut Darmin, nilai wajar DER tersebut bisa menggunakan aturan main yang saat ini sudah ada di pasar. "Di investasi, debt to equity yang memakai uang sendiri antara 20%-30% dan sisanya pinjaman. Tapi, kalau kegiatan yang sangat capital intensive biasanya beda," tambahnya.Di sisi lain, pengaturan rasio utang terkait pajak hingga sekarang masih dalam pembahasan. Nantinya, perusahaan tetap diperbolehkan meminjam uang, tapi jika pinjamannya terlalu berlebihan dibandingkan ekuitasnya, secara fiskal, kantor pajak tak akan mengakui semua bunga atas pinjaman itu.Kebijakan ini diambil lantaran Ditjen Pajak melihat ada banyak perusahaan yang telah melakukan manipulasi dengan modus ini. Contohnya, seharusnya perusahaan menambah modal, tapi yang terjadi malah meminjam ke perusahaan induknya. "Banyak perusahaan tidak membayar pajak karena bunga pinjamannya mahal dan pinjamannya berkali-kali lipat dari modal," jelas Direktur Jenderal Pajak, Fuad Rahmany.Sayang, Fuad belum berani menyebut kapan peraturan seperti ini dapat diberlakukan. Sebab, setelah dirumuskan di tingkat kementerian, tahap berikutnya bakal ada konsultasi publik dan seminar untuk dapat masukan dari dunia usaha. "Saya belum bisa bilang tahun ini karena nantinya menteri keuangan yang menetapkan," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Edy Can