JAKARTA. Pertumbuhan likuiditas perekonomian yang ditandai dengan jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) pada Oktober 2015 melambat dibandingkan bulan sebelumnya. Salah satu penyebabnya adalah tingginya intervensi Bank Indonesia (BI) untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Berdasarkan data BI, jumlah uang beredar per akhir Oktober 2015 tercatat sebesar Rp 4.442 triliun. Angka ini turun jika dibandingkan jumlah uang beredar pada bulan sebelumnya yang sebesar Rp 4.508 triliun. Secara tahunan (yoy), pertumbuhan M2 juga merosot, yakni sebesar 10,4% pada Oktober 2015. Padahal, per September 2015, pertumbuhan mencapai 12,7% yoy. Penurunan ini imbas dari melorotnya seluruh komponen yang ada pada M2, yakni M1, uang kuasi, dan surat berharga selain saham. M1 meliputi uang kartal yang dipegang masyarakat dan uang giral atau giro berdenominasi rupiah. Sedangkan, uang kuasi merupakan dana pihak ketiga (DPK) yang terdiri atas simpanan berjangka dan tabungan, baik dalam bentuk rupiah maupun valuta asing (valas), serta simpanan giro valas. Jumlah M1 merosot dari Rp 1.063 triliun pada September 2015 menjadi Rp 1.036 triliun di penghujung Oktober 2015. Kemudian, jumlah uang kuasi pun mengering dari Rp 3.426 triliun menjadi Rp 3.390 triliun. Begitu pula dengan jumlah surat berharga yang beredar selain saham dari Rp 19,2 triliun per September 2015 menjadi Rp 15,5 triliun di akhir Oktober 2015. Secara year-on-year, jumlah surat berharga ini tumbuh negatif, yaitu sebesar -12,5% per Oktober 2015. Sementara pada sebulan sebelumnya, pertumbuhannya mencapai 165,1%. Jumlah uang kuasi juga turun dari Rp 4.322 triliun menjadi Rp 4.238 triliun di Oktober 2015. Penyebab utama dari melambatnya pertumbuhan uang beredar ini adalah intervensi BI dalam rangka stabilisasi nilai tukar rupiah dan pembayaran utang luar negeri (ULN) pemerintah. Sehingga, total nilai aktiva luar negeri bersih pun ikut terjungkal. Nilai aktiva luar negeri bersih per Oktober 2015 tercatat hanya Rp 1.124 triliun. Padahal, pada September 2015 nilainya mencapai Rp 1.232 triliun. Dilihat dari sisi pertumbuhan, di 10 bulan pertama 2015 angkanya hanya 2,6%, sedangkan di September 2015, pertumbuhan mencapai 11%. Mochammad Doddy Ariefianto, Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengatakan, seiring dengan derasnya dana asing yang keluar, terutama pada September 2015, membuat nilai tukar rupiah tertekan. Sepanjang September 2015, rata-rata kurs tengah rupiah terhadap dollar AS tidak lepas dari angka Rp 14.000, bahkan hampir menyentuh Rp 15.000. Namun, pada akhir Oktober 2015, rupiah sedikit menguat , yakni ke level Rp 13.639 per dollar AS. "(keputusan investor asing) susah diprediksi, bisa keluar masuk kapan saja," ujarnya, Rabu (23/12). Sehingga, yang dilakukan BI adalah menyuplai pasar dengan dollar AS dan menarik rupiah. BI, menurut Andry Asmoro, Ekonom Senior Bank Mandiri, dalam hal ini bertujuan melakukan lokalisir agar jumlah uang beredar tidak terlalu tinggi. Pasalnya, hal ini rentan disalahgunakan untuk spekulasi. Di sisi lain, menipisnya jumlah uang beredar juga merupakan cerminan lesunya kegiatan perekonomian. Hal ini bisa dilihat dari penyaluran kredit yang tumbuh melambat, yaitu dari 10,9% yoy pada September 2015 menjadi hanya sekitar 10,1% di Oktober 2015. Doddy bilang, ini bisa menjadi indikator lemahnya pergerakan ekonomi di Indonesia. Pemerintah, lanjut dia, harus bisa menggeber belanja agar roda perekonomian berjalan lebih kencang. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
BI intervensi, jumlah uang beredar susut
JAKARTA. Pertumbuhan likuiditas perekonomian yang ditandai dengan jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) pada Oktober 2015 melambat dibandingkan bulan sebelumnya. Salah satu penyebabnya adalah tingginya intervensi Bank Indonesia (BI) untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Berdasarkan data BI, jumlah uang beredar per akhir Oktober 2015 tercatat sebesar Rp 4.442 triliun. Angka ini turun jika dibandingkan jumlah uang beredar pada bulan sebelumnya yang sebesar Rp 4.508 triliun. Secara tahunan (yoy), pertumbuhan M2 juga merosot, yakni sebesar 10,4% pada Oktober 2015. Padahal, per September 2015, pertumbuhan mencapai 12,7% yoy. Penurunan ini imbas dari melorotnya seluruh komponen yang ada pada M2, yakni M1, uang kuasi, dan surat berharga selain saham. M1 meliputi uang kartal yang dipegang masyarakat dan uang giral atau giro berdenominasi rupiah. Sedangkan, uang kuasi merupakan dana pihak ketiga (DPK) yang terdiri atas simpanan berjangka dan tabungan, baik dalam bentuk rupiah maupun valuta asing (valas), serta simpanan giro valas. Jumlah M1 merosot dari Rp 1.063 triliun pada September 2015 menjadi Rp 1.036 triliun di penghujung Oktober 2015. Kemudian, jumlah uang kuasi pun mengering dari Rp 3.426 triliun menjadi Rp 3.390 triliun. Begitu pula dengan jumlah surat berharga yang beredar selain saham dari Rp 19,2 triliun per September 2015 menjadi Rp 15,5 triliun di akhir Oktober 2015. Secara year-on-year, jumlah surat berharga ini tumbuh negatif, yaitu sebesar -12,5% per Oktober 2015. Sementara pada sebulan sebelumnya, pertumbuhannya mencapai 165,1%. Jumlah uang kuasi juga turun dari Rp 4.322 triliun menjadi Rp 4.238 triliun di Oktober 2015. Penyebab utama dari melambatnya pertumbuhan uang beredar ini adalah intervensi BI dalam rangka stabilisasi nilai tukar rupiah dan pembayaran utang luar negeri (ULN) pemerintah. Sehingga, total nilai aktiva luar negeri bersih pun ikut terjungkal. Nilai aktiva luar negeri bersih per Oktober 2015 tercatat hanya Rp 1.124 triliun. Padahal, pada September 2015 nilainya mencapai Rp 1.232 triliun. Dilihat dari sisi pertumbuhan, di 10 bulan pertama 2015 angkanya hanya 2,6%, sedangkan di September 2015, pertumbuhan mencapai 11%. Mochammad Doddy Ariefianto, Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengatakan, seiring dengan derasnya dana asing yang keluar, terutama pada September 2015, membuat nilai tukar rupiah tertekan. Sepanjang September 2015, rata-rata kurs tengah rupiah terhadap dollar AS tidak lepas dari angka Rp 14.000, bahkan hampir menyentuh Rp 15.000. Namun, pada akhir Oktober 2015, rupiah sedikit menguat , yakni ke level Rp 13.639 per dollar AS. "(keputusan investor asing) susah diprediksi, bisa keluar masuk kapan saja," ujarnya, Rabu (23/12). Sehingga, yang dilakukan BI adalah menyuplai pasar dengan dollar AS dan menarik rupiah. BI, menurut Andry Asmoro, Ekonom Senior Bank Mandiri, dalam hal ini bertujuan melakukan lokalisir agar jumlah uang beredar tidak terlalu tinggi. Pasalnya, hal ini rentan disalahgunakan untuk spekulasi. Di sisi lain, menipisnya jumlah uang beredar juga merupakan cerminan lesunya kegiatan perekonomian. Hal ini bisa dilihat dari penyaluran kredit yang tumbuh melambat, yaitu dari 10,9% yoy pada September 2015 menjadi hanya sekitar 10,1% di Oktober 2015. Doddy bilang, ini bisa menjadi indikator lemahnya pergerakan ekonomi di Indonesia. Pemerintah, lanjut dia, harus bisa menggeber belanja agar roda perekonomian berjalan lebih kencang. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News