KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) mengungkapkan adanya potensi peningkatan inflasi dari skema pembagian beban (burden sharing) dalam pembiayaan utang untuk pemulihan ekonomi nasional yang telah disepakati dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, ekspansi moneter yang dilakukan oleh bank sentral memang memiliki risiko terhadap inflasi. Akan tetapi, ini memiliki tenggat waktu atau lag yang lama dan bervariasi. Baca Juga: BI optimistis burder sharing tak kerek inflasi tahun ini
Saat ditanya apakah berarti inflasi akan terjadi pada tahun depan, Gubernur BI Perry Warjiyo memilih untuk mencermati dahulu perkembangan perekonomian. Menurutnya, peningkatan inflasi juga bergantung pada aktivitas ekonomi. "Kita lihat tahun depan, permintaan akan meningkat atau tidak, sudah pulih ke sebelum Covid-19 atau belum. Tapi, tidak tahun ini karena ekonomi kita lemah akibat Covid-19 Teknisnya, ada structural breakdown dalam ekonomi kita," tutur Perry. Namun, Perry mengisyaratkan agar Indonesia tidak khawatir terhadap potensi peningkatan inflasi ini. Pasalnya, bank sentral mengaku akan sigap menempuh kebijakan yang memang diperlukan dari sisi moneter untuk mengendalikan inflasi. Menurutnya, BI sudah mau menanggung risiko karena sudah memiliki amunisi yang lengkap untuk mengurangi tekanan inflasi, seperti kaidah, kerangka kerja, dan kedisiplinan. Sebagai tambahan informasi, dalam skema burden sharing, pertama, BI akan menanggung beban bunga utang hingga 100% dari beban untuk public goods seperti anggaran kesehatan, perlindungan sosial, serta sektoral, kementerian dan lembaga (K/L), dan pemerintah daerah yang pembiayaannya diperkirakan mencapai Rp 397,60 triliun. Dalam hal ini, BI akan melakukan pembelian surat berharga negara (SBN) yang diterbitkan oleh Kemenkeu secara private placement dengan referensi suku bunga reverse repo rate. Baca Juga: BI turunkan suku bunga acuan 25 bps menjadi 4%