BI kaji izin operasi bank



JAKARTA. Sepak terjang bank milik pemodal asing di negeri ini kerap dikeluhkan karena hanya menggenjot segmen konsumer yang menjanjikan untung tinggi. Sementara sektor produktif yang sarat risiko dan rumit dijauhi.

Dari segi persebaran, bank-bank itu juga hanya bercokol di kota-kota besar yang pertumbuhan ekonominya tinggi. Bagi mereka, lebih baik menumpuk di ceruk pasar yang sudah jenuh, ketimbang menciptakan peluang baru.

Di saat yang sama, bank asal Indonesia sulit ekspansi di negara asal investor asing itu. Di Malaysia misalnya, bank tidak bisa sembarangan membuka kantor. Regulator setempat, Bank Negara Malaysia, mengarahkan bank asing untuk beroperasi di daerah pinggiran. Begitu juga penempatan mesin ATM.


BI hendak menyeimbangkan kondisi itu. Caranya, membuat regulasi sejenis yakni aturan multiple lisence atau perizinan bank berjenjang. Inti aturan ini, bank harus mengajukan izin setiap kali mau menggarap bisnis tertentu. Bagi bank yang sudah beroperasi, BI akan menilai ulang kelayakan mereka menggeluti bisnis itu.

Aturan ini bertujuan meningkatkan kontribusi bank terhadap perekonomian. Sasaran lainnya, menciptakan persaingan yang lebih fair. Tak ada lagi cerita bank besar berjejalan di pasar yang sama dengan BPR atau lembaga mikro (LKM).

BI menargetkan aturan multiple lisence meluncur tahun ini, sebagai kelanjutan beleid kepemilikan bank yang bakal terbit akhir Juni ini. "Seluruh izin bank kita telaah ulang," kata Mulia E. Siregar, Direktur Eksekutif Pengaturan Perbankan BI.

Dalam menggelar review, BI menggunakan beberapa parameter. Yang paling utama permodalan. Bank yang modalnya pas-pasan, ruang lingkupnya terbatas. "Bank bermodal kuat silakan menggarap semua segmen," katanya. Karena penyusunan aturan masih berlangsung, ia belum bersedia menjelaskan kategorisasi modal dan bisnis-bisnis yang boleh digeluti.

Mulia hanya memberikan beberapa contoh, antara lain bisnis structured product. Bisnis ini mensyaratkan bank bermodal kuat. Jika bank yang sudah menjual produk ini ternyata tidak layak, BI akan meminta bank itu menambah modal. Jika tak mampu, mereka harus menutup bisnisnya.

Dilihat dari parameternya, aturan ini punya kelemahan. Yakni, hanya melapangkan jalan bagi bank bermodal besar. Jadi, aturan multiple lisence tidak berpengaruh bagi bank kelas kakap, termasuk bank asing, karena modalnya besar. "Tapi kita tidak akan berhenti di modal saja, ada syarat tambahan lain," kilah Darmin Nasution, Gubernur BI.

BI akan mengatur bank agar tidak hanya bermain di segmen yang gampang untung. Jadi, misalkan ingin membuka cabang di Jawa, bank harus buka beberapa cabang di Indonesia timur.

Begitupula jika ingin menggarap bisnis di kota besar, mereka harus masuk ke daerah pinggiran.

Prinsip serupa bakal berlaku di kredit UMKM. Bank yang ingin bermain di segmen ini tidak boleh hanya menggarap rantai perdagangannya saja. Bank juga harus membiayai UMKM di rantai paling hulu, seperti para nelayan, petani dan perajin.

Tony Prasetyantono, Ekonom Universitas Gajah Mada, menilai aturan ini patut diapresiasi. Pengaturan ini untuk menata kembali kompetisi. Larangan bank bermodal kecil menggarap bisnis berisiko besar juga baik bagi perekonomian. "Ini memudahkan pengawasan," katanya.

Apakah aturan ini bermanfaat? Tentu masih tanda tanya. Sebab, setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) beroperasi, pengaturan, pengawasan dan perizinan bank tak ada lagi di BI.

Sebaliknya, aturan multiple lisence melapangkan jalan dominasi bank asing. Sementara target pemerataan pertumbuhan dan penataan kompetisi yang fair, belum tentu terbukti.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie