JAKARTA. Peningkatan risiko kehati-hatian utang berbasis valuta asing (valas) bila dibanding aset dalam bentuk valas menjadi perhatian Bank Indonesia (BI) saat ini. Salah satu opsi rasio alias persentase yang dikaji BI dalam penentuan kehati-hatian tersebut adalah maksimal 70% utang dalam bentuk valas. Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan saat ini kajian BI adalah maksimum utang valas adalah 70% dari aset valas yang dipunyai korporasi. Apabila lebih dari batas itu maka harus ditindaklanjuti dengan hedging atawa lindung nilai. "Salah satu indikator bisa seperti itu. Sisanya harus hedging," ujar Mirza pekan lalu. Alasan BI mengatur utang dalam bentuk valas, diakui Mirza, adalah untuk keamanan korporasi sendiri.
Saat ini, utang luar negeri swasta terus naik. Posisi terakhir pada bulan Juli sebesar US$ 156,41 miliar atau naik 2,08% dibanding bulan Juni yang sebesar US$ 153,22 miliar. ULN secara keseluruhan pun mencapai US$ 290,57 miliar. Risiko utang swasta ini apabila terjadi kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika The Fed lalu terjadi gejolak pada negara berkembang termasuk Indonesia menjadi bahaya. Korporasi bisa sulit mendapatkan pendapatan dalam bentuk valas atau bisa saja perbankan luar negeri tidak mau memberikan roll over alias perpanjangan pembayaran utang. Karena itu aturan ini dibuat untuk menjaga keamanan korporasi dan stabilitas makro secara keseluruhan. Selain mengatur soal rasio utang valas, menurut Mirza, BI juga akan mengatur bahwa makin dekat utang korporasi jatuh tempo maka hedging utangnya harus semakin besar porsinya.