JAKARTA. Bank Indonesia (BI) mengaku sedang mengkaji kemungkinan pembelian obligasi rekapitalisasi milik perbankan. Hal ini terkait keinginan BI memperkuat stabilitas moneter dengan masuk ke Surat Utang Negara (SUN) bertenor panjang. Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah, Rabu (18/1) menjelaskan, ada dua tujuan utama mengapa bank sentral masuk ke pasar SUN. Pertama, untuk menstabilisasi harga surat utang. Sebab kestabilan di pasar SUN akan berdampak positif terhadap berkurangnya
capital reversal (arus modal asing keluar). Kondisi ini akan bermanfaat bagi kestabilan kurs rupiah. Kedua, membuat pasar SUN lebih dalam. Kedalaman pasar akan menjadikan transaksi pasar uang, khususnya di SUN menjadi lebih likuid.
Tapi, agar otoritas moneter itu bisa mengeksekusi, obligasi tersebut harus diubah menjadi
tradable. Saat ini, yang dipegang perbankan yaitu,
available to sale, hold to maturity (
non-tradable) dengan porsi lebih besar dan
tradable. "Potensi yang
tradable mencapai Rp 153 triliun," ujar Halim. Jika obligasi ini diperdagangkan, maka pilihan instrumen moneter Indonesia semakin bertambah. Saat ini, BI dan pemerintah sedang intens bertemu untuk membahas kesepakatan ini. “Kami sudah beberapa kali, perkembangannya sudah membahas detail tiap seri,” ungkap
Perry Warjiyo, Direktur Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter kepada Kontan, Rabu (18/1). Sayang ia belum bisa memastikan kapan keinginan tersebut disepakati. Perbankan perlahan melepas Beberapa bank mengaku secara bertahap telah melepas kepemilikan obligasi rekapitalisasi. Ada yang dijual dan memang jatuh tempo. PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (
BBRI) mengaku saat ini jumlah obligasi rekapitalisasi yang masih dimilikinya berkisar Rp 8 triliun dari Rp 29 triliun yang dibayar pemerintah ke BBRI ketika krisis 1998. "Obligasi rekap kami kebetulan kecil. Yang lain sudah kami lepas dan kondisi bank saat ini sangat sehat. Total dana bunga obligasi dengan laba kami jauh sekali bedanya. Obligasi yang dibayar sekitar Rp 2 triliun per tahun sedangkan laba kami sekitar Rp 10 triliun - Rp 12 triliun. " ungkap Direktur Utama BBRI Sofyan Basir, Rabu (18/1). Sebagian besar dari obligasi yang masih dimiliki BBRI bersifat
hold to maturity dibandingkan yang tradable. Direktur Keuangan BBRI Baequni menambahkan, masa jatuh tempo obligasi rekapitalisasi BBRI bervariasi antara tahun 2015-2020. Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution mengungkapkan masih banyak bank-bank BUMN yang menyimpan obligasi tersebut karena belum bisa dijual ke pasar. Hal ini lantaran harga obligasi rekapitalisasi tersebut di bawah. Kondisi ini akan membebani neraca perbankan sehingga bank kurang efisien. Menanggapi hal tersebut, Baequni sependapat. "Kalau obligasi itu disimpan saja sebagai obligasi, tidak bisa disalurkan. Tapi kalau itu dilepas, itu bisa buat menambah penyaluran kredit," jelas Baequni. Selain BRI, bank berstatus Badan usaha Milik Negara (BUMN) lainnya yang masih mengempit obligasi itu adalah PT Bank Mandiri Tbk (
BMRI). Zulkfili Zaini, Direktur Utama Mandiri menyebutkan, sisa nilai obligasi rekapitalisasi BMRI mencapai Rp 79 triliun per 2010, terdiri dari
available to sale sebesar Rp 55 triliun, sedangkan yang berstatus
hold to maturity sebesar Rp 22 triliun yang akan jatuh tempo ada yang tahun 2009-2012 dan sisanya berstatus
trading. Pahala N. Mansury, Managing Director Finance & Strategy menambahkan, saat ini jumlah obligasi itu sudah berkurang menjadi Rp 72 triliun. "Banyak yang jatuh tempo antara 2014-2020," jelasnya.
Sedangkan Jahja Setiadmaja, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (
BBCA) mengungkapkan, BCA sudah tidak lagi memiliki
recap bond. "Sejak tahun2008 BCA sudah bersih dari obligasi rekapitalisasi," tuturnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: