BI: Kebutuhan utang luar negeri tak bisa dihindari



JAKARTA. Semenjak akhir tahun 2011, Indonesia mengalami permasalahan current account deficit (CAD) atawa defisit transaksi berjalan. Salah satu imbasnya, Indonesia butuh utang luar negeri (ULN) untuk menambal defisit.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengatakan, defisit transaksi berjalan yang melanda Indonesia harus didanai. Perlu ada valuta asing (valas) yang masuk baik dalam bentuk penanaman modal langsung, portofolio ataupun ULN.

Maka dari itu ULN adalah sesuatu yang dibutuhkan Indonesia dan tidak bisa dihindari baik oleh pemeirntah ataupun swasta. Hanya saja, ULN ini harus dikelola dengan baik. "Jangan sampai jadi risiko yang tidak terkendali. Perlu diatur risiko kehati-hatiannya," ujar Mirza dalam wawancara dengan KONTAN, Kamis (9/10).


Secara garis besar perlu ada kehati-hatian terhadap risiko utang luar negeri swasta. Salah satu yang memang sedang diolah adalah rasio aset valas terhadap liabilitas alias utang dalam bentuk valas.

Apabila mempunyai utang valas maka harus mempunyai aset alas. Kalau meminjam dalam valas namun tidak punya aset valas maka harus di-hedging (lindung nilai).

Nantinya dalam aturannya, BI tidak akan membuat rasio aset valas terhadap utang valas berdasarkan sektor karena terlalu kompleks untuk diatur. Dirinya menjelaskan, untuk infrastruktur jangka panjang bisa ada kelonggaran rasio utang. 

Namun untuk proyek infrastruktur sendiri karena terkait dengan pemerintah maka sudah ada dalam aturan Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN). "Repot kalau kita atur masing-masing sektor," tandasnya.  

Asal tahu saja, sebelumnya Mirza menuturkan kalau BI sedang mengkaji maksimum utang valas adalah 70% dari aset valas yang dipunyai korporasi. Apabila lebih dari batas itu maka harus ditindaklanjuti dengan hedging atawa lindung nilai.

Adapun saat ini utang luar negeri swasta terus naik. Posisi terakhir pada bulan Juli sebesar US$ 156,41 miliar atau naik 2,08% dibanding bulan Juni yang sebesar US$ 153,22 miliar. ULN secara keseluruhan mencapai US$ 290,57 miliar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto