BI kehilangan fokus di beleid kepemilikan



JAKARTA. Calon aturan Bank Indonesia (BI) mengenai kepemilikan bank terus menuai kritik. Sejumlah ekonom yang dihubungi KONTAN menilai BI kehilangan fokus dalam menyusun beleid tersebut. Regulator tidak ingin merusak image yang pro pasar (market friendly), tapi di saat yang sama tidak ingin mengecewakan kalangan domestik.

Kondisi itu mengakibatkan aturan menjadi serba tanggung. Garis-garis besar aturan yang disampaikan Gubernur BI Darmin Nasution dan Deputi bidang Pengaturan Halim Alamsyah, menunjukkan tak ada yang signifikan dari beleid ini (Harian KONTAN, 25 Juni 2012). BI cuma memaksimalkan beleid lama.

Contohnya, pengaitan aturan kepemilikan dengan tingkat kesehatan dan tata kelola (GCG). BI juga membolehkan investor memiliki saham bank hingga 99% selama 15 tahun dan 20 tahun jika tingkat kesehatan bank yang dibeli di level empat dan lima atau kategori sakit dan sekarat.


Untuk menjalankan hal tersebut BI bisa menggunakan Peraturan BI (PBI) No 13/3/2011 tentang Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank. Dalam aturan ini BI memiliki kuasa memaksa pemilik bank sakit dan sekarat melepas kepemilikan kepada pihak lain.

Untuk menyeleksi investor, BI juga tidak perlu menerapkan standar rating. Regulator cukup menggunakan aturan fit dan proper test. Beleid ini memberikan kekuasaan absolut bagi BI untuk menentukan siapa yang diizinkan masuk ke perbankan dan sebaliknya. Investor tak bisa mengganggu gugat judgement BI.

Pengamat perbankan, Mochammad Doddy Arifianto, berpendapat, arah penataan ulang struktur kepemilikan bank itu tidak jelas. "BI berusaha menciptakan satu obat untuk semua penyakit. Padahal tidak ada satu obat yang bisa menyembuhkan semua," ujarnya, Selasa (25/6).

Bagi Doddy, kebijakan ini cenderung melanggengkan struktur perbankan yang sudah terbentuk. BI hanya ingin mempertegas aturan main yang kabur saja. "Harusnya BI hanya merevisi aturan yang ada. Saya juga harus memberikan apresiasi pada rencana BI untuk membentuk contingent convertible bonds (CoCo bond) ini salah satu penerapan dari aturan Basel III," tambahnya.

Ekonom Universitas Gajah Mada (UGM), Tony Prasetyantono, menyarankan BI untuk intervensi langsung proses divestasi bank-bank bermasalah. Tujuannya, memprioritaskan bank nasional menjadi pihak pembeli. Hal tersebut dapat mengobati kekecewaan publik terhadap meningkatnya dominasi asing di sektor ini.

Jadi, BI jangan sekadar merevisi aturan single presence policy (SPP) atau asas kepemilikan tunggal dengan membolehkan bank menjadi pengendali di banyak bank. "Bank sekelas BRI, Mandiri, BNI ataupun BCA sanggup mencaplok tiga bank kecil sekaligus," katanya.

Halim mengaku, saat ini BI memiliki kekuatan memaksa bank. Namun, pengenaan aturan pada masing-masing bank sangat memboroskan waktu dan tidak efisien. "Kami tidak ingin membuat aturan satu-satu yang normatif dan tidak diskriminatif untuk semua pihak," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Asnil Amri