KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) mengakui langkahnya menaikkan suku bunga acuan 7 days reverse repo rate (BI 7-DRRR) hingga level 6% baru bisa dirasakan dalam jangka waktu 1,5 tahun mendatang. Meski begitu, bank sentral kembali memberi sinyal kenaikan suku bunga masih bisa dilakukan tahun ini. "Transmisi dari dampak kenaikan suku bunga ke inflasi dan pertumbuhan ekonomi itu perlu jangka waktu enam kuartal," jelas Gubernur BI Perry Warjiyo di kantor Kementerian Keuangan (Kemkeu), Selasa (29/1). Dengan waktu yang panjang tersebut, kenaikan suku bunga akan berdampak pada pasar keuangan baik deposito maupun kredit. Penyaluran kredit perbankan makin ketat.
Kendati penyaluran kredit perbankan dikhawatirkan semakin ketat, BI memberikan sinyal masih akan mengerek suku bunga acuan meski belum menyebutkan secara pasti. Dengan kebijakan yang
pre-emptive dan
forward looking, Perry mengatakan kenaikan suku bunga acuan sudah hampir mencapai puncaknya. Kenaikan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) di November 2018 sudah memperhitungkan kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS) alias The Fed pada Desember dan Maret. Sedangkan BI melihat The Fed masih akan menaikkan suku bunga sebanyak dua kali. "November lalu sudah memperhitungkan rencana kenaikan suku bunga The Fed di Desember maupun Maret. Tahun ini kami perkirakan The Fed menaikkan suku bunga paling banyak dua kali. Itu akan kita
review dalam RDG bulanan," jelas Perry di Kantor Kementerian Keuangan, Selasa (29/1). Kenaikan suku bunga BI memang diarahkan untuk menurunkan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) dan memastikan pasar aset keuangan dalam negeri menarik. Kenaikan suku bunga acuan BI juga disebut Perry bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Maka, saat menaikkan suku bunga, BI mengeluarkan bauran kebijakan lain yaitu melonggarkan aturan giro wajib minimum (GWM) rerata dari semula 2% menjadi 3% disetorkan dalam waktu dua minggu. "Jadi bank tidak perlu menyetorkan GWM setiap hari cukup secara rerata dalam dua minggu," jelas Perry. Sementara, rasio penyangga likuditas makroprudensial (PLM) juga dinaikkan menjadi 4%. Dari yang semula 2% dari total 4% PLM yang dapat direpokan ke BI. Artinya, bank dapat menggunakan PLM yang merupakan surat-surat berharga secara keseluruhan sebagai underlying untuk melakukan repo ke BI.
"BI juga memperbanyak frekuensi lelang moneter yang ekspansif," ujar Perry. BI memperbanyak frekuensi operasi moneter dengan memberi injeksi melalui
swap dan
term repo. Dengan bauran tersebut, BI berharap dampak dari kenaikan suku bunga acuan terhadap kredit tidak menyebabkan pengetatan likuiditas yang tinggi. Apabila suku bunga kredit tidak tinggi, maka penyaluran kredit bisa tetap terjaga dan mampu mendukung pertumbuhan ekonomi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi