KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) baru memutuskan untuk menaikkan suku bunga kebijakan, BI 7-Days Reverse Repo Rate (BI7DRR) menjadi 6% pada pekan lalu. Deputi Gubernur BI Juda Agung menegaskan, dasar bagi keputusan otoritas moneter tersebut adalah untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah. Juda menjelaskan, ini seiring dengan ketidakpastian global dan juga kenaikan imbal hasil surat utang Amerika Serikat (AS) juga dolar AS yang makin perkasa.
"Dengan kenaikan imbal hasil surat utang AS yang begitu cepat, dolar AS yang kuat, maka kami harus menambah amunisi dengan menaikkan suku bunga kebijakan," terang Juda dalam peluncuran bukku KSK no. 41, Senin (23/10).
Baca Juga: Loyo, Rupiah Spot Dibuka Melemah ke Rp 15.882 Per Dolar AS pada Hari Ini (23/10) Ketidakpastian yang dimaksud Juda adalah terkait dengan memanasnya tensi geopolitik. Belum selesai krisis perang di Ukraina, dunia kembali dikejutkan dengan meledaknya ketegangan di Timur Tengah, antara Israel dan Palestina. Ketegangan politik tersebut mendorong harga energi dan pangan. Dengan demikian, inflasi kembali naik, terutama di berbagai negara maju seperti AS dan Eropa. Inflasi yang masih enggan turun membuat otoritas moneter negara maju kemudian memutuskan untuk menjaga suku bunga acuan untuk tetap tinggi selama beberapa waktu ke depan. Apalagi AS. Terutama saat Menteri Keuangan AS Janet Yellen secara gamblang mengumumkan Paman Sam butuh dana untuk melakukan pendanaan perang baik yang terjadi di Rusia dan Timur Tengah. "AS yang dengan gamblang bilang butuh pembiayaan politik dan keamanan, pada akhirnya mendorong kenaikan imbal hasil suku bunga di AS," tambah Juda.
Baca Juga: Simak Proyeksi Pergerakan Rupiah untuk Hari Ini (23/10) Meski demikian, Juda juga menegaskan bahwa selama ini BI sudah berupaya keras untuk menjaga nilai tukar rupiah. BI hadir dengan melakukan intervensi di pasar. Juga berbagai instrumen ditelurkan untuk menjaga otot rupiah. Hanya, memang situasi yang tak pasti membuat Rupiah masih terus melemah. Akan tetapi Jdua menegaskan, pelemahan mata uang terjadi tak hanya di Indonesia, tetapi hampir di seluruh negara dunia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari