BI: Kenaikan yield US Treasury tak memicu risiko



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Amerika Serikat telah mengumumkan rencana penerapan bea masuk 10% bagi impor produk China dengan nilai total US$ 200 miliar mulai 24 September. China pun membalas dengan penerapan bea masuk 10% untuk importasi produk buatan AS senilai US$ 60 miliar, berlaku mulai 24 September.   

Tarif yang diumumkan oleh kedua negara tersebut masih di bawah yang selama ini didengungkan yaitu AS yang sebelumnya akan mengenakan 25% dan China yang sebelumnya akan mengenakan 20%. Hal ini memicu redanya kekhawatiran terhadap perang dagang di tengah minimnya rilis data krusial ekonomi AS.

Akibatnya, imbal hasil US Treasury bergerak naik, khususnya tenor 10 tahun ke level 3,06%. Ini terjadi setelah rilis data kepemilikan US Treasury oleh China. Artinya, minat terhadap aset safe haven seperti US Treasury dan dollar AS turun yang pada akhirnya mendorong yield US Treasury khususnya tenor 10 tahun meningkat.


“Namun, kenaikan yield US Treasury tidak lagi menjadi penopang dollar AS, seperti di Mei-Juni. Sedangkan, indeks dollar AS atau US Dollar Index (DXY) turun ke 94,526,” kata Nanang Hendarsah, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) kepada Kontan.co.id, Kamis (20/9).

Ia melanjutkan, kenaikan yield US Treasury juga tidak memicu risk aversion seperti di Mei-Juni lalu. Sebab, melihat Merrill Lynch Option Volatility Estimate atau MOVE Index, yang mengukur gejolak yang diharapkan dari obligasi, lonjakan yang terjadi kini tak sebesar pada periode antara Mei ke Juni lalu sehingga yield yang meningkat gagal memicu ketakutan yang besar.

Kemarin, meski yield US Treasury 10 tahun pada perdagangan sebelumnya (Selasa) tembus ke level 3% dan rupiah ditutup melemah sebesar 0,14% ke level Rp 14.875, harga SUN secara umum di pasar sekunder justru menguat sekaligus melanjutkan penguatan yang terjadi pada perdagangan sebelumnya.

Rata-rata kenaikan harga SUN di pasar sekunder kemarin untuk kategori tenor pendek adalah sebesar 19,56 basis poin (bps) sementara untuk kategori tenor menengah dan panjang masing-masing mengalami rata-rata kenaikan sebesar 40,77 bps dan 53,43 bps.

Nanang menambahkan, sengketa dagang antara AS dan China sesungguhnya adalah kesempatan yang baik untuk menarik Foreign Direct Investment (FDI) atau investasi langsung asing. Sebab, berdasarkan survey Bloomberg, pemberlakuan tarif baru dari AS ke pada China ini akan membuat produksi perusahaan AS berpindah dari China ke Asia Tenggara.

“Thailand, Malaysia, dan Vietnam terlihat lebih siap,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi