KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia akhirnya menaikkan suku bunga acuannya alias BI 7 day reverse repo rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,75% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Agustus 2022. Kenaikan suku bunga acuan ini menjadi yang pertama kalinya dilakukan BI sejak Juli 2019. Maklum, sejak awal semester II-2019, tren suku bunga acuan BI terus turun dari level 6% ke 5,75% dan terus melandai hingga 3,5%. Sejak Februari 2021, BI juga terus menjaga suku bunga acuan di level terendahnya yakni 3,5% hingga Juli 2022. Selain mengerek suku bunga acuan, dalam RDG Agustus 2022, bank sentral juga menaikkan suku bunga deposit facility sebesar 25 bps menjadi 3% dan suku bunga lending facility sebesar 25 bps menjadi 4,5%.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, keputusan BI untuk mengerek suku bunga acuan dilakukan sebagai upaya untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan menjangkar ekspektasi inflasi.
Baca Juga: Jika BBM Subsidi Naik, Pengusaha Minta Besarannya Tak Terlalu Tinggi “Ini sebagai langkah
preemptive dan
forward looking, memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) non subsidi dan inflasi pangan bergejolak,” tegas Perry dalam pembacaan hasil Rapat Dewan Gubernur BI Agustus 2022, Selasa (23/8). Menurut Perry, inflasi yang dilihat oleh BI adalah inflasi secara fundamental yang tercermin dari inflasi inti. Dengan melihat kondisi terkini, Perry meyakini inflasi inti bisa melampaui batas atas sasaran BI yang sebesar 4% secara tahunan. “Inflasi inti bisa di 4,15% secara tahunan (
year on year). Kenaikan risiko inflasi inti dan ekspektasi inflasi ini rembetan dari kenaikan inflasi harga bergejolak dan diatur pemerintah. Ini yang kami respons dengan meningkatkan suku bunga acuan,” tutur Perry. Secara keseluruhan, BI memperkirakan inflasi tahun ini bisa mencapai 5,24% secara tahunan. Potensi ancaman inflasi dari harga yang diatur pemerintah bisa datang dari rencana penyesuaian harga BBM subsidi oleh pemerintah. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, anggaran subsidi energi tahun ini ditetapkan sebesar Rp 502 triliun. Anggaran ini berpotensi membengkak hingga Rp 698 triliun atau hampir Rp 700 triliun jika tak ada penyesuian harga BBM. Maklum saja, kenaikan harga minyak dunia dan gejolak nilai tukar rupiah membuat asumsi harga minyak dan kurs rupiah juga meleset. Sri Mulyani menuturkan, pemerintah menetapkan asumsi ICP sebesar US$ 100 per barel, namun asumsi harga minyak kini mencapai US$ 105 per barel. Sedangkan asumsi kurs rupiah kini telah melambung menjadi Rp 14.700 per dolar AS, jauh di atas asumsi yang ditetapkan sebesar Rp 14.450 per dolar AS. Belum lagi, volume konsumsi BBM subsidi juga meningkat. Konsumsi Pertalite diperkirakan naik dari 23,05 juta kilo liter menjadi 29,07 juta kilo liter. Sementara konsumsi solar diperkirakan naik dari 15,1 juta kilo liter menjadi 17,44 juta kilo liter. Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy memperkirakan, dengan asumsi kenaikan harga Pertalite sekitar Rp 1.000-Rp 3.000 per liter, maka inflasi di akhir tahun 2022 bisa ada di kisaran 6%-8%. Meski begitu, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara berharap inflasi tahun ini bisa ditekan di bawah 5%. "Inflasi naik, tetapi kenaikan inflasi kita itu terkontrol, masih di bawah 5%. Kami berharap tahun ini ya antara 4,5% - 4,8%,” tutur Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara dalam Sidang Pleno ISEI XXII dan Seminar Nasional, Rabu (24/8).
Baca Juga: BI Perkirakan Agustus 2022 akan Deflasi 0,13%, Ini Penyebabnya Sejatinya, langkah kenaikan suku bunga ini tak hanya dilakukan oleh BI. Sebelumnya, bank-bank sentral di seluruh dunia bahkan sudah mulai menaikkan suku bunga acuannya demi meredam inflasi global yang terus melambung sebagai imbas kenaikan harga komoditas global yang diperparah dengan perang antara Rusia dan Ukraina. Bahkan, Gubernur The Federal Reserve Jerome Powell juga telah menyatakan sikap The Fed yang hawkish. Menurutnya, The Fed akan tetap ada di jalur kenaikan suku bunga untuk beberapa waktu ke depan, untuk meredam kenaikan inflasi. Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual juga memandang tepat langkah BI untuk menaikkan suku bunga acuan. Menurutnya, dalam jangka pendek memang kebijakan peningkatan suku bunga bisa menahan agar inflasi tidak liar seperti yang terjadi di negara-negara maju, layaknya Amerika Serikat (AS). “Harapannya inflasi tidak liar, di tengah ketidakpastian global dan juga peningkatan berbagai harga di dalam negeri. Jadi, memang harapannya berhasil menjangkar ekspektasi inflasi dalam jangka pendek ini,” tutur David kepada Kontan.co.id, Jumat (26/8). David juga melihat peningkatan suku bunga kebijakan ini akan dirasakan oleh sektor riil. Namun, menimbang efek peningkatan suku bunga ada jeda waktu, maka dampaknya baru akan terasa pada sekitar empat bulan lagi.
Ekonomi Diyakini Tetap Tumbuh
Upaya kenaikan suku bunga demi meredam inflasi bukan tak berefek buruk. Pasalnya, kenaikan suku bunga acuan bisa berefek pada perlambatan ekonomi. Namun, Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti mengungkapkan, BI sudah mempertimbangkan masak-masak kebijakan kenaikan suku bunga acuan, sehingga harapannya tidak akan berpengaruh besar terhadap laju pertumbuhan ekonomi ke depan. “Kami sudah melakukan berbagai asesmen dan simulasi. Dalam menaikkan suku bunga acuan, kami berusaha mengimbangi untuk pertumbuhan dan untuk stabilisasi,” ujar Destry. Destry mencontohkan, BI sudah melakukan asesmen terkait dampak peningkatan suku bunga terhadap penyaluran kredit ke depan. Dari asesmen ini, Destry yakin kenaikan suku bunga acuan hanya akan berdampak kecil terhadap penyaluran kredit. Apalagi, saat ini penyaluran kredit sudah tumbuh lebih dari 10%.
Baca Juga: The Fed Tetap Kerek Suku Bunga Demi Lawan Inflasi, Ekonomi AS Menuju Masa Menyakitkan Selain itu, BI juga sudah memiliki kebijakan insentif, yaitu rasio pembiayaan inklusif makroprudensial (RPIM). RPIM ini memastikan adanya insentif kepada bank-bank yang menyalurkan dana kepada masyarakat bawah dan kelompok UMKM. Bank-bank yang menyalurkan kredit kepada kelompok tersebut dan mencapai suatu level tertentu maka akan mendapat insentif berupa pengurangan kewajiban giro wajib minimum (GWM) sebesar 50 bps. BI juga memberi insentif kepada perbankan yang menyalurkan kredit kepada 46 sektor prioritas. Bahkan ada insentif berupa pengurangan kewajiban GWM hingga 150 bps bagi perbankan yang menyalurkan kredit hingga level tertentu kepada sektor-sektor prioritas ini. Perry juga meyakini perbaikan ekonomi domestik semakin nyata. Buktinya, pada kuartal II-2022, pertumbuhan ekonomi berhasil menyentuh 5,44% secara tahunan atau lebih tinggi dari capaian kuartal I-2022 yang sebesar 5,01%. Menurut Perry, pertumbuhan yang tinggi ini karena peningkatan permintaan domestik yang mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga, serta masih baiknya kinerja ekspor. “Pertumbuhan ekonomi 2022 diperkirakan bisa ke atas, di kisaran proyeksi BI yang sebesar 4,5% yoy hingga 5,3% yoy,” tutur Perry.
Bunga Kredit Bersiap Naik
Kenaikan bunga acuan BI juga akan berdampak pada kenaikan suku bunga kredit. Maklum, kenaikan bunga acuan akan mengerek biaya dana (cost of fund) perbankan. Sehingga pada gilirannya bank harus menaikkan suku bunga kredit. Namun, Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin menilai, perbankan masih mencermati perkembangan pasar sebelum menyesuaikan bunga kredit. "Sekarang rata-rata bunga dana pihak ketiga (DPK) bank-bank besar masih kecil. Jadi tidak akan serta merta bunga kredit naik," kata Amin kepada Kontan.co.id, Minggu (28/8). Menurut Amin, bank berpotensi mengerek suku bunga kredit jika inflasi meningkat akibat kenaikan harga BBM. Ia memperkirakan, BI ke depan berpeluang kembali menaikkan suku bunga acuan hingga 50 bps demi menahan laju inflasi.
Baca Juga: Kenaikan Suku Bunga Acuan BI Diharapkan Bisa Meredam Kekhawatiran Inflasi "Saat itu terjadi, bank mau tidak mau akan mengoreksi tingkat suku bunga kredit. Tapi itu masih menunggu keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI November depan," terangnya. Perbankan kini masih mencermati efek kenaikan suku bunga acuan BI terhadap bisnis bank.
Direktur Consumer Banking CIMB Niaga Noviandy Wahyudi bilang, saat ini CIMB Niaga masih terus memantau dampak kenaikan suku bunga acuan. Menurutnya, CIMB Niaga membuka peluang kenaikan bunga KPR karena biaya dana diperkirakan akan meningkat. "Kami juga terus memantau pergerakan suku bunga KPR di market," katanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi