JAKARTA. Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada KamisĀ (11/9) memutuskan untuk mempertahankan BI rate atawa suku bunga pada level 7,5%. Level ini dianggap masih konsisten dan sejalan untuk menstabilkan fundamental ekonomi Indonesia. Suku bunga Lending Facility dan Deposit Facility masing-masing tetap pada level 7,5% dan 5,75%. Perekonomian global serta domestik yang masih belum membaik dan perlu diwaspadai menjadi alasan. Dari sisi global, perekonomian Amerika Serikat (AS) yang mengalami perbaikan bakal diikuti dengan kenaikan suku bunga. BI melihat kenaikan suku bunga Bank Sentral AS The Fed akan terjadi secara gradual alias bertahap. "Kemungkinan kenaikan Fed Fund Rate dapat terjadi pada triwulan II atau III tahun 2015," ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara, Kamis (11/9). Menurut BI, berdasarkan informasi yang ada, The Fed akan menaikkan suku bunganya hingga naik sekitar 137,5 bps per tahun. Kenaikan ini tentu saja menjadi salah satu pertimbangan BI untuk tetap mempertahankan suku bunga. Apalagi di sisi lain perekonomian Eropa menunjukakn perlambatan. Penurunan suku bunga dan stimulus kebijakan moneter oleh ECB Eropa menjadi bukti. Negara berkembang sendiri pertumbuhan relatif masih terbatas sehingga penurunan harga komoditas masih akan berlanjut. Dari sisi domestik, BI mewaspadai berbagai risiko yang dapat mengganggu tercapainya sasaran inflasi 4,5% plus minus 1% hingga akhir tahun. Risiko tersebut berasal dari kemungkinan kenaikan administered price lewat kenaikan BBM. Perhitungan BI, setiap Rp 1.000 kenaikan akan memberikan tambahan inflasi sebesar 1% dan berlaku kelipatannya. Meskipun akan memberikan inflasi, efeknya hanya akan terjadi pada 2-3 bulan saja. Selain soal inflasi, ada defisit transaksi berjalan. Kinerja neraca dagang khususnya non migas diperkirakan masih akan surplus yang ditopang oleh kembalinya ekspor mineral. Meskipun begitu, untuk defisit neraca migas diperkirakan masih akan berlanjut. Sekedar mengingatkan, hingga akhir tahun BI perkirakan defisit transaksi berjalan akan sebesar US$ 27 miliar atau 3,2% dari PDB. Nilai ini turun dibanding defisit pada akhir tahun 2013 yang sebesar US$ 29,12 miliar atau 3,34% dari PDB.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
BI masih nyaman dengan suku bunga 7,5%
JAKARTA. Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada KamisĀ (11/9) memutuskan untuk mempertahankan BI rate atawa suku bunga pada level 7,5%. Level ini dianggap masih konsisten dan sejalan untuk menstabilkan fundamental ekonomi Indonesia. Suku bunga Lending Facility dan Deposit Facility masing-masing tetap pada level 7,5% dan 5,75%. Perekonomian global serta domestik yang masih belum membaik dan perlu diwaspadai menjadi alasan. Dari sisi global, perekonomian Amerika Serikat (AS) yang mengalami perbaikan bakal diikuti dengan kenaikan suku bunga. BI melihat kenaikan suku bunga Bank Sentral AS The Fed akan terjadi secara gradual alias bertahap. "Kemungkinan kenaikan Fed Fund Rate dapat terjadi pada triwulan II atau III tahun 2015," ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara, Kamis (11/9). Menurut BI, berdasarkan informasi yang ada, The Fed akan menaikkan suku bunganya hingga naik sekitar 137,5 bps per tahun. Kenaikan ini tentu saja menjadi salah satu pertimbangan BI untuk tetap mempertahankan suku bunga. Apalagi di sisi lain perekonomian Eropa menunjukakn perlambatan. Penurunan suku bunga dan stimulus kebijakan moneter oleh ECB Eropa menjadi bukti. Negara berkembang sendiri pertumbuhan relatif masih terbatas sehingga penurunan harga komoditas masih akan berlanjut. Dari sisi domestik, BI mewaspadai berbagai risiko yang dapat mengganggu tercapainya sasaran inflasi 4,5% plus minus 1% hingga akhir tahun. Risiko tersebut berasal dari kemungkinan kenaikan administered price lewat kenaikan BBM. Perhitungan BI, setiap Rp 1.000 kenaikan akan memberikan tambahan inflasi sebesar 1% dan berlaku kelipatannya. Meskipun akan memberikan inflasi, efeknya hanya akan terjadi pada 2-3 bulan saja. Selain soal inflasi, ada defisit transaksi berjalan. Kinerja neraca dagang khususnya non migas diperkirakan masih akan surplus yang ditopang oleh kembalinya ekspor mineral. Meskipun begitu, untuk defisit neraca migas diperkirakan masih akan berlanjut. Sekedar mengingatkan, hingga akhir tahun BI perkirakan defisit transaksi berjalan akan sebesar US$ 27 miliar atau 3,2% dari PDB. Nilai ini turun dibanding defisit pada akhir tahun 2013 yang sebesar US$ 29,12 miliar atau 3,34% dari PDB.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News